Warung Bebas
Showing posts with label Permata Hati. Show all posts
Showing posts with label Permata Hati. Show all posts

Tuesday, 10 April 2012

Pendidikan Akhlak Untuk Anak

Pendidikan Akhlak Untuk Anak.Sungguh Islam adalah agama yang sempurna hingga pendidikan akhlak untuk anak pun diperhatikan dengan serius. Namun sangat disayangkan orangtua kebanyakan pada zaman sekarang ini jarang memperhatikan pendidikan akhlak bagi anak lantaran kesibukan mereka atau berbagai macam alasan lainnya. Prinsip yang mereka pegang adalah membahagiakan anak dengan memberikan pendidikan dan mendidik yang mereka sangka sudah baik. Namun kebahagiaan yang semacam apa yang ingin diwujudkan oleh sebagian para orangtua tersebut ?

Anak adalah buah hati setiap orang tua, dambaan disetiap keinginan orang tua serta penyejuk hati bagi keletihan jiwa orang tua. Anak tidak lahir begitu saja, anak terlahir dari buah cinta sepasang hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang merupakan amanat wajib untuk dijaga, diasuh dan dirawat dengan baik oleh orangtua yang pada akhirnya nanti akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.

pendidikan anak, pendidikan akhlak anak, akhlak, Mencari Ilmu

Pertanggung jawaban orang tua tersebut baik di dunia ataupun di akherat, namun tatkala anak sudah baligh maka mereka bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Salah satu contoh dari pertanggung jawaban tersebut adalah dengan memelihara diri dan keluarga dari api neraka :
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At Tahrim: 6)

Dan hal ini dapat diwujudkan dengan memberi pendidikan kepada anak dengan pendidikan yang baik sesuai Al Qur’an dan As sunnah sebagai bekal perjalanan di dunia maupun di akherat. Sebagaimana perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu,
"Didiklah anakmu karena kamu akan ditanya tentang tanggungjawabmu, apakah sudah kamu ajari anakmu, apakah sudah kamu didik anakmu dan kamu akan ditanya kebaikanmu kepadanya dan ketaatan anakmu kepadamu."

Pendidikan tersebut banyak cabangnya satu diantaranya adalah pendidikan akhlak, akhlak anak yang baik dapat menyenangkan hati orang lain baik orangtua atau orang-orang di lingkungan. Bahkan akhlak yang sesederhana sekalipun misalnya memberikan wajah berseri saat bertemu dengan saudara muslim yang lain.Disamping ikhtiar dengan pendidikan kepada anak dengan pendidikan akhlak yang bagus hendaknya orangtua selalu mendo’akan anak-anaknya agar mereka tumbuh dengan naungan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala pula. Karena doa orangtua atas anaknya termasuk doa yang mustajab.

Semoga kita para orang tua khususnya lebih memperhatikan akan pendidikan akhlak untuk anak, karena dengan akhlak yang baik, maka Insya Allah anak nantinya bisa menjadi lebih baik lagi, baik itu dalam urusan mengenai dunianya atau pun akheratnya.

Sunday, 13 November 2011

Nasihat Luqman Al-Hakim

Nasihat Luqman Al-Hakim

Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ

“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.”
(Luqman: 18)

Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)

Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang pula:

وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِباَلَ طُوْلاً

“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.”
(Al-Isra`: 37)

Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)

Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.



‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أَمْثاَلَ الذَّرِّ فِيْ صُوْرَةِ الرِّجاَلِ، يَغْشاَهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكاَنٍ، يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسَ، تَغْلُوْهُمْ ناَرٌ مِنَ اْلأَنْياَرِ، وَيُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِيْنَةِ الْخَباَلِ

“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.1”
(HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)

Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian yang kita dapati dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah k dalam keadaan Allah murka terhadapnya.”
(HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)

Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merendahkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.” “Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

سَفَهُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.”
(HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)

Tak sedikit pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.”
(HR. Muslim no. 2865)

Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.”
(HR. Muslim no. 2588)

Tawadhu’ karena Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua makna ini benar. Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia.
(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)

Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.”
(HR. An-Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ اْلأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَى صِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُوْسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)

Ketawadhu’an Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau Shallamengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa melakukan hal itu.”
(HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)

Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan diikuti pula oleh para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.
(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)

Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid radhiyallahu ‘anhu menuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:

اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلٌ غَرِيْبٌ جَاءَ يَسْأَلُ عَنْ دِيْنِهِ لاَ يَدْرِي مَا دِيْنُهُ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَيَّ فَأُتِيَ بِكُرْسِيٍّ، فَقَعَدَ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ، ثُمَّ أَتَى خُطْبَتَهُ فَأَتَمَّ آخِرَهَا

“Aku pernah datang kepada Rasulullah n ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah n pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.”
(HR. Muslim no. 876)

Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya?

Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran


Catatan kaki:

1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.

Artikel : asysyariah.com

Monday, 31 October 2011

Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak

Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak

Wahai saudaraku muslim! Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Artinya, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka{laki-laki}atas sebagian yang lain {wanita}dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa: 34)

Allah telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin bagi para wanita dan ini sesuai dengan fitrah dan naluri manusia, agar alam ini berjalan sesuai dengan hukum-hukum Allah Subhannahu wa Ta’ala .

Maka bagi laki-laki memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya dengan pendidikan yang baik dan benar yang akan menjamin kebahagian dunia dan akhirat. Dan pendidikan yang paling penting adalah mengajarkan mereka agama dan adab-adab Islam sebagai realisasi dalam meneladani Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan meniti kehidupan sesuai dengan ajarannya. Wahai para ayah ajarkan dan didiklah anak-anak kalian dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang sholih.

Ajarkan juga pokok-pokok keimanan yang telah diterangkan oleh Al-Qur‘an dan biasakanlah mereka untuk berpegang teguh dengan rukun-rukun Islam.

Ajarkan kepada istri dan anak-anak kalian untuk mencintai Allah, tancap-kan keimanan, kecintaan, penghormat-an, dan pengagungan terhadap Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam di dalam hati mereka. Mereka wajib untuk menaati apa yang diperin-tahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, membenarkan setiap berita yang beliau sampaikan dan menjauhi apa yang dilarangnya dan tidak beribadah kepada Allah, melain-kan sesuai dengan apa yang dia syariatkan. Barang siapa yang berpaling dari petunjuknya, maka dia termasuk ahlul bid’ah.

Ajarkan mereka untuk mencintai sahabat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang mulia sebagai imam yang telah mendapatkan petunjuk yang lurus. Terangkan kepada mereka bagaimana sahabat beribadah, berakhlak dengan akhlak yang mulia, berilmu yang luar biasa, bersungguh-sungguh dalam beragama. Dan terangkan juga tentang jihad dan perjuangan mereka di jalan Allah Subhannahu wa Ta’ala. Hingga akhirnya melalui mereka Allah membuka hati dan telinga umat manusia, membuka negara-negara dan kerajaan-kerajaan, dan menghukum orang orang kafir dan munafik dengan kehinaan.


Dan terangkan juga tentang sejarah hidup mereka yang luar biasa, bagai-mana kebenaran Iman mereka dan sempurnanya mereka di dalam mengikuti Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , dalam beribadah, berjihad dan menginfaqkan harta yang amat banyak dalam rangka untuk mencari ridha Allah Subhannahu wa Ta’ala .

Dan tanamkan kepada mereka bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang mau mengikuti Sahabat Rasullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan orang yang celaka adalah yang mencela, mendiskreditkan mereka serta menempuh jalan kehidu-pan selain jalan mereka.

Dan perintahkan kepada mereka untuk menunaikan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, perintahkan anak laki-laki supaya berjamaah di masjid bersama kaum muslimin, dan yang perempuan supaya berjamaah bersama ibu mereka di rumah.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman : Artinya, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepa-damu. Dan akibat(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.”
(Thaha: 132)

Dan juga pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dan perempuan ketika mereka berumur sepuluh tahun, jauhkan mereka dari kawan yang jelek. Tumbuhkanlah mereka dengan ahklaq ahlu iman, seperti berbakti kepada orang tua, silaturahim, bergaul dengan baik terhadap saudara seagama, senang bersedekah, berbuat yang ma‘ruf dan kebaikan, menghormati tetangga dan tamu, dan mencegah dari perbuatan jelek serta menyakiti sesama manusia.

Dan ajarkan juga tentang keimanan kepada qadla dan qadar, ajarkan agar selalu menghadapi takdir dengan menyerahkannya kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala sebagai Rabb yang mengatur seluruh alam. Karena sesungguhnya Allah yang memberi dan Allah yang memgambil, segala sesuatu datang dari sisi-Nya sesuai dengan waktu yang ditentukan-Nya. Orang yang berbahagia adalah orang yang beriman kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya serta berusaha keras mencari jalan-jalan (wasilah) yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.

Orang yang celaka adalah orang yang menuyelisihi-Nya, bermaksiat terhadap perintah-Nya, menentang-Nya, kufur terhadap-Nya, benci terha-dap ketentuan-Nya dan berpaling dari takdir-Nya.

Jauhilah perkara-perkara yang mengantarkan kepada kemurkaan Allah Subhannahu wa Ta’ala yang mengakibatkan dimasuk-kan ke dalam api neraka bersama orang-orang kafir Allah Ta‘ala berfirman,

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu menger-jakan apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6)

Jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka, dengan membuka pintu-pintu kebaikan kepada anak dan istri kalian dan selalu mengarahkan mereka kepada kebaikan-kebaikan tersebut, selalu memberi dorongan kepada mereka untuk melaksanakannya, dan hendaknya kalian menjadi teladan bagi seluruh anggota keluarga.

Jangan sekali-kali meremehkan pendidikan terhadap keluarga kalian, dan jangan menganggap ringan dalam mengarahkan dan menunjuki mereka didalam kebaikan, karena kalian bertanggung jawab atas mereka.

Bersabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam ,“Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin amanah yang diembankan kepadanya; apakah dia menjaganya atau menyia-nyiakannya, sampai seseorang ditanyai tentang keluarganya”
(HR. An-Nasai)

Dan bersemangatlah dalam mendidik mereka di dalam kebaikan dunia dan akhirat. Semoga Allah menjadikan kita seperti orang-orang yang Allah firmankan,

Artinya, “Yaitu surga ‘Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan) “Salamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesuda-han itu.”
(Ar-Ra’d : 23-24)

Dan bersungguh-sungguhlah dalam mengajarkan mereka tentang Kitabullah dan as-Sunnah serta atsar-atsar (perikehidupan) salafusholih, maka Allah akan memberikan kemuliaan kepada kalian lebih dari yang kalian harapkan, dan akan mengamankan kalian dari mara bahaya apa pun, akhirnya Allah akan mengumpulkan kalian bersama anak dan istri kalian disurga-surga dan akan duduk ditempat orang-orang yang terhormat.

Allah berfirman : Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
(At-Thur : 21)

Sesungguhnya seorang ayah apabila memberikan perhatian serius di dalam mendidik anak dan istrinya serta orang-orang yang menjadi tanggung jawab-nya, maka ia ibarat seseorang yang menebarkan di atas bumi yang subur benih-benih yang paling bermanfaat dan paling baik, yang kelak dengannya akan mendatangkan buah yang melim-pah dan hasil (panen) yang baik.

Tetapi apabila meremehkan pendidikan keluarga dan merasa cukup dengan sekedar memberikan makan, minum, pakaian dan lainnya, kemudian ia tinggalkan begitu saja seperti bina-tang ternak, tidak mengetahui yang halal dan yang haram, dan tidak menunaikan kewajiban dan tanggung jawab, dan tidak ada rasa penghormatan kepada yang tua dan tidak ada belas kasihan terhadap yang muda, maka yang seperti itu justru akan menjadi azab bagi diri mereka, keluarga dan masyarakat seluruhnya.

Padahal setiap muslim akan ditanya di hadapan Allah Subhannahu wa Ta’ala tentang beban tanggung jawab yang dipikulnya. Apakah ia tunaikan dan pelihara atau malah justru melalaikan dan menyia-nyiakannya.

Sesungguhnya anak-anak kita, belahan hati kita adalah pemuda-pemuda di hari ini dan merupakan generasi penerus untuk masa depan, jangan kalian melupakan doa untuk mereka, supaya mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah Subhannahu wa Ta’ala agar menempuh jalan yang dicintai Allah dan diridhai-Nya.

Artinya, “Ya Rabb kami, anugerah-kanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Sumber : Buletin, “al-Washiah bil Ahl wal Aulad.” (Azhar Khalid Saif, Lc.)

Demikian tadi kawan artikel mengenai Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak dan semoga artikel mengenai Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak ini dapat bermanfaat kawan.

Monday, 26 September 2011

Tips Agar Buah Hati Mendengarkan

Tips Agar Anak Hormat Patuh.Sebagai orang tua kita terkadang sering dibuat jengkel oleh buah hati kita karena mereka tidak mau mendengarkan parkataan kita sebagai orang tuanya kepada mereka.Meski begitu kita sebagai orang tua pun tidak perlu marah atau pun kesal berlebihan sampai-sampai kita menggunakan kekerasan agar buah hati kita mau mendengarkan kita.Jangan sampai yah wahai Ummu--abu--; wahai Ayah--wahai Bunda--.

Sebagian besar buah kita tidak mau mendengarkan kita karena beberapa sebab, bisa berupa keinginan buah kita untuk mendapatkan perhatian lebih.Tentu saja hal ini pun tidak boleh juga dibiarkan berlarut-larut.Karena mendidik buah hati agar bisa mendengarkan dengan baik atau jadi pendengar yang baik akan membantunya belajar lebih efektif, bersosialisasi dengan baik, dapat mengetahui adanya sinyal bahaya, dan juga bisa membuatnya bersosialisasi dengan baik serta bisa menghargai orang lain.

Cara Tips Anak Hormat Patuh Pada Orang Tua

Berikut adalah beberapa tips agar anak mendengarkan orang tua, yaitu:

1. Dekati anak
Terkadang orangtua berteriak dari tempat yang jauh untuk memberitahu anak, hal ini tidak akan memberikan dampak yang efektif. Usahakan untuk berada setara dengan anak, misalnya berjongkok atau agak merunduk sehingga bisa melihat mata anak untuk mendapatkan perhatiannya. Kondisi ini akan membantu anak untuk mau mendengarkan orangtuanya.

2. Berikan pesan yang jelas dan sederhana
Anak-anak akan sulit menemukan pesan yang diinginkan orangtuanya jika kata-kata yang diucapkan bertele-tele atau terlalu panjang. Jika memang tidak ada pilihan bagi anak, maka sebaiknya tidak menggunakan kalimat pertanyaan. Misalnya “Sudah waktunya untuk masuk ke mobil,” akan berdampak lebih besar dibandingkan, “Ayo naik ke kursi mobil, sayang?”.

3. Jangan bosan untuk mengulang
Pesan yang ingin disampaikan ke anak mungkin tak akan cukup dengan hanya mengucapkannya sekali. Karena itu tak ada salahnya untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan berulang-ulang dengan mengucapkannya, lalu memberi isyarat visual (seperti menjentikkan jari), isyarat fisik (meletakkan tangan di bahu anak dengan lembut) dan mendemonstrasikannya.

Sunday, 4 September 2011

ummi...ibu...bunda

Bacalah dan resapi….
Ketika ibu mu sudah mulai tua…
dan bukanlah seperti yang dulu lagi..
maka, berusahalah mengerti dan bersabarlah sedikit terhadapnya..

Jika suatu saat pakaiannya kotor karena makanan,
Bunda lupa cara membersihkannya..
lupa cara memakai pakaian..
Ingatkah kamu bagaimana bunda dahulu mengajarimu berpakaian di waktu kecil…??

Ibu Bunda

Ketika ummi berkata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar,
maka bersabarlah menengarkannya..
ingatkah kamu ketika kecil, ummi harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali diceritakan agar kamu bisa tertidur..??

Ketika ibu memerlukanmu untuk membantunya..
janganlah menolak apalagi memarahinya..
ingatkah kamu sewaktu kecil, ia harus bersusah payah agar bisa membantumu berhasil..??

Ketika ummi tak paham dengan suatu hal yang baru..
jangan kamu sekali kali menertawakannya..
pikirkanlah.. bagaimana dulu ummi sabar menjawab setiap pertanyaan “MENGAPA” darimu..

Jika ummi sudah tak dapat berjalan kuat..
ulurkanlah tanganmu yang masih kuat untuk memapahnya..
ingatkah kamu sewaktu kecil, ummi senantiasa memapah agar kamu bisa berjalan..??

Ketika ummi lupa akan apa yang sdang dibicarakan..
berilah ummi waktu dan kesempatan untuk mengingatnya..
karena sebenarnya bagi ummi,
apa yang dibicarakan tidaklah penting asalkan kamu disampingnya mendengarkannya, ummi sudah puas..

Ketika kamu memandang ummi mulai menua, janganlah bersedih…
mengertilah.. dukunglah ummi…
seperti ummi menghadapimu ketika kamu belajar melihat kehidupan ini..
ingatkah waktu itu ummi memberi petunjuk bagaimana cara menjalani kehidupan ini..??

Sekarang, temanilah ummi dalam menghabiskan sisa-sisa hidupnya..
berilah ummi ketulusan dan kesabaranmu,.
ummi akan memberikan senyuman terindah untukmu..
dalam senyum itu terdapat rasa bangga dan kebahagiaan cinta yang tak terhingga untukmu..yang tak akan lekang oleh waktu..
bahkan ketika ajal telah diambang pintu…

ucapkanlah.. walau hanya dalam hatimu..
ummi , ananda sangat mencintaimu…”

Sumber : tamanberbagi.wordpress.com

Wednesday, 22 June 2011

Orangtua, Sebab Sang Anak Berada pada Suatu Agama

Orangtua, Sebab Sang Anak Berada pada Suatu Agama

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَا مِنْ مَوُلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?"

Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik rahimahullahu dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabul Qadar (no. 2658).


Terlalu sering dan akrab pada pendengaran manusia, teguran dan sapaan yang mengajak (memperingatkan) kepada setiap diri, untuk menjadi seorang yang pandai mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bertakwa, bertawakal dan beribadah hanya kepada-Nya. Namun hal ini kadang dianggap sebagai perkara yang membosankan. Menjadi perkara yang berlalu tanpa arti, masuk telinga kanan keluar dari telinga kiri.

Semua orang paham, bahwa setiap diri pasti mempunyai hati, dan bukan ia yang memegang kendali, sehingga bisa bertindak semaunya sendiri. Namun ketahuilah, Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang menguasai hati manusia, yang membolak-balikkannya, sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi.

Karena bisa jadi, peringatan yang terulang berkali-kali akan menjadi manfaat dan faedah yang berarti, bagi orang yang ingin mengubah dan membersihkan diri dari dosa (perbuatan keji), juga bagi orang yang ingin mendapatkan pengajaran serta orang yang beriman dengan keimanan yang hakiki.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

عَبَسَ وَتَوَلَّى. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى. وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu bermanfaat kepadanya?” (‘Abasa: 1-4)

Demikian pula pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
(Adz-Dzariyat: 55)

Juga sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى

“Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat.”
(Al-A’la: 9)

Pada asalnya, hati memiliki kecenderungan dan kecondongan untuk mencintai apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cintai dan membenci apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala benci. Jika diingatkan akan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, keagungan dan kebesaran, serta ayat-ayat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, hati akan teringat kepada-Nya. Jika ditakut-takuti akan berat dan sakitnya azab Allah Subhanahu wa Ta’ala, hati akan takut kepada-Nya. Inilah hati yang mendapatkan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Az-Zumar: 23)

Namun, apabila hati telah ternodai, berkarat seperti pada besi, diingatkan akan ayat-ayat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, kepada kenikmatan-kenikmatan dan siksaan-Nya, dia tidak akan ingat. Bahkan akan mengingkari, terus menerus berdiri dan berjalan di atas kebatilan –baik dalam keyakinan maupun ucapan–, di sekitar keburukan dan kerusakan ucapan dan perbuatan.

Jika demikian, ini bukanlah hati seorang muslim, seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:

بَلْ عَجِبْتَ وَيَسْخَرُونَ. وَإِذَا ذُكِّرُوا لاَ يَذْكُرُونَ

“Bahkan kamu menjadi heran (terhadap keingkaran mereka) dan mereka menghinakanmu. Dan apabila mereka diberi peringatan mereka tidak mengingatnya.”
(Ash-Shaffat: 12-13)

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Dan apabila dikatakan kepadanya: ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa.”
(Al-Baqarah: 206)

Di antara sekian bentuk peringatan yang tersebut dalam Al-Qur`an maupun dalam hadits-hadits yang shahih adalah ajakan untuk mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, dan peringatan dari mengkufuri (mengingkari)-nya.

Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ

“Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)

Demikian pula adanya perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia secara umum untuk mengingat nikmat-Nya. Karena apapun bentuknya, segala yang telah diperoleh setiap manusia berupa kenikmatan baik yang lahir maupun yang batin, kesehatan, kelapangan waktu maupun rizki, banyak maupun sedikit, baik dirasakan dan disadari maupun tidak, semuanya datang dari-Nya. Dialah yang menciptakan langit dan bumi. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah yang menganugerahkan rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) kecuali Dia; maka mengapa kalian berpaling?”
(Fathir: 3)

Dari sekian nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib untuk disyukuri ialah adanya anak di tengah keluarga. Merupakan idaman, harapan dan dambaan bagi yang telah berkeluarga, adanya anak yang dapat menjadi penghibur bagi keduanya. Selain itu, terbetik harapan agar ia menjadi anak yang taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lagi berbakti kepada orangtua, serta menjadi anak yang baik lagi beragama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia melalui sebab adanya orangtua. Karena itulah Allah l agungkan hak kedua orangtua atas anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada kedua orangtuanya).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.”
(Al-’Ankabut: 8)

Adakah harapan dan dambaan serta kebanggaan yang lain bagi orangtua yang muslim dan beriman, jika anak yang lahir darinya dan dididik di atas fitrahnya, selain mendapati anaknya menjadi anak shalih yang senantiasa mendoakan orangtuanya, dan di hari kiamat ia menjadi sebab terangkatnya derajat kedua orangtuanya?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ الَّذِي يَدْعُو لَهُ

“Apabila manusia telah mati, terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”
(HR. Muslim)

Demikian pula sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ: ياَ رَبِّ أَنَّى لِيْ هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ.

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di jannah, kemudian ia berkata: ‘Wahai Rabbku, dari mana ini?’ Maka Allah berfirman: ‘Dengan sebab istighfar (permintaan ampun) anakmu untukmu’.”
(HR. Ahmad)

Dan Al-Bazzar meriwayatkan dengan lafadz:

أَوْ بِدُعَاءِ وَلَدِكَ لَكَ

“Dengan sebab doa anakmu untukmu” (
Lihat Ash-Shahihul Musnad, 1/383-384, cet. Darul Quds)

Memang tidak semua anak yang lahir akan menjadi dambaan dan kebahagiaan bagi kedua orangtua. Ada pula anak yang menjadi siksaan bagi keduanya. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)

Jika demikian, apakah yang sudah dilakukan oleh orangtua untuk anaknya? Adakah keinginan untuk menyenangkan anak cukup dengan mengikuti dan memenuhi segala apa yang disenangi dan dimaui, tanpa memedulikan keselamatan agamanya? Sudahkah seorang ayah atau ibu memberikan atau mengupayakan sesuatu yang dapat menjadi sebab untuk menguatkan sang anak agar ia hidup dan meninggal tetap berada di atas fitrahnya? Tidakkah seorang menyadari bahwa orangtua menjadi sebab akan agama yang dianut anaknya? Di manakah dia berada?

Makna dan Faedah Hadits

 Lafadz:

مَا مِنْ مَوُلُودٍ

Pada riwayat lain: كُلُّ مَوْلُودٍ, artinya setiap yang dilahirkan (bayi).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Yaitu dari bani Adam, seperti yang tersebut dalam riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah dari Al-A’raj dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:

كُلُّ بَنِي آدَمَ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ

“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.”

Demikian pula Khalid Al-Wasithi meriwayatkan dengan lafadz yang serupa, dari Abdurrahman bin Ishaq dari Abu Zinad dari Al-A’raj. Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya At-Tamhid.

Sekilas, riwayat ini mengandung kejanggalan, karena berkonsekuensi bahwa setiap yang lahir akan ada yang menjadi Yahudi atau yang lain seperti tersebut dalam hadits. Juga bahwa sebagian dari yang dilahirkan itu tetap menjadi seorang muslim dan tidak terjadi padanya sesuatu (perubahan). Jawabnya adalah, kekufuran yang terjadi (setelah bayi lahir) bukan bawaan diri sang bayi dan tabiatnya, namun hal itu terjadi karena adanya sebab dari luar. Jika seorang bayi selamat dari sebab luar yang memengaruhinya, ia akan terus berada pada kebenaran (fitrahnya). Hal inilah yang menguatkan pendapat yang benar dalam mengartikan makna fitrah. (lihat Al-Fath, 3/303, cet. Darul Hadits, dan At-Tamhid, 18/98, Al-Maktabah As Syamilah).

Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dari jalan Abdul Aziz Ad-Darawardi, dari Al-’Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya Abdurrahman bin Ya’qub, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ

“Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah.”

 Lafadz:

يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ

“Dilahirkan dalam kedaan fitrah.”

Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Yang nampak bahwa sifat ini umum pada seluruh anak yang dilahirkan. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam riwayat sebelumnya (dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 1359), dari jalan Yunus bin Yazid Al-Aili, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan lafadz:

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ

“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”

Dalam Shahih Muslim (Kitabul Qadar-46/bab-6/no.23) dari jalan Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ

“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”

Ibnu Abdil Bar menghikayatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini tidak berkonsekuensi keumuman (meliputi setiap bayi). Namun maksud dari hadits ini adalah, setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah dan ia memiliki kedua orangtua yang keduanya beragama selain Islam, maka kedua orangtuanyalah yang telah memindahkan fitrah (agama) anaknya kepada agama selain Islam (Yahudi atau Nasrani). Maka perkiraan makna hadits ini ialah: Setiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah, sedangkan kedua orangtuanya Yahudi (misalnya), maka keduanya telah menjadikan anaknya Yahudi. Kemudian di waktu baligh, ia akan dihukumi dengan apa yang sesuai padanya.

Untuk membantah pendapat ini, cukuplah dengan riwayat yang jelas, seperti riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah:

كُلُّ بَنِي آدَمَ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ

“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (Al-Fath, 3/303)

Makna Fitrah

Para ulama salaf berbeda pendapat dalam memaknai kata fitrah dengan pendapat yang cukup banyak. Pendapat yang paling masyhur dalam hal ini ialah bahwa maknanya Islam. Ibnu Abdil Bar berkata: “Pendapat inilah yang dikenal di kalangan ulama salaf.” Para ulama sepakat pula dalam menafsirkan makna fitrah pada ayat:

فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)

Yakni Islam.

Mereka berhujjah dengan ucapan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada akhir haditsnya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Bacalah oleh kalian jika kalian berkenan:

فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

Juga dengan hadits ‘Iyadh bin Himar Al-Mujasyi’i dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi):

إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ

“Sesungguhnya Aku ciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus bertauhid (Islam), kemudian setan mendatangi (menggoda)nya, lalu memalingkan mereka dari agamanya (supaya tersesat).” (HR. Muslim no. 2875)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu juga memastikan pendapat ini, seperti yang beliau sebutkan dalam Kitab Tafsir, surat Ar-Rum ayat 30, bahwa al-fitrah adalah Islam. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Ucapan ini bersumber dari Ikrimah dengan sanad yang sampai kepadanya, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu dalam tafsirnya.”

Ibnu Baththal rahimahullahu dalam syarahnya (5/417, Maktabah Syamilah) berkata setelah menyebutkan pendapat ulama yang memaknai fitrah adalah agama Islam: “Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ikrimah, Al-Hasan (Al-Bashri), Ibrahim (An-Nakha’i), Adh-Dhahhak, Qatadah, dan Az-Zuhri.”

Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Barangsiapa yang meninggal (yakni seorang anak) dan kedua orangtuanya dalam keadaan kafir, maka ia dihukumi sebagai anak muslim.” Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah di atas. Hal ini menunjukkan bahwa beliau menafsirkan al-fitrah dengan Islam. Dan inilah pendapat beliau yang terakhir dalam hal ini, sebagaimana yang dihikayatkan oleh Muhammad bin Nashr.

Ibnu Abdil Bar dan yang lain menyatakan adanya pendapat lain dalam masalah ini. Di antaranya adalah ucapan Abdullah ibnul Mubarak, bahwa maksud dari hadits ini adalah: Seorang anak yang lahir akan berada pada apa yang akan terjadi padanya, celaka atau bahagia. Barangsiapa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ketahui bahwa ia akan menjadi seorang muslim maka ia dilahirkan di atas keislaman. Dan barangsiapa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ketahui bahwa ia akan menjadi orang kafir, maka ia dilahirkan di atas kekafiran. Seolah-olah beliau menakwilkan makna fitrah dengan ilmu Allah.

Pendapat ini disanggah dengan alasan, bahwa kalau memang demikian maknanya, maka sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Maka kedua orangtuanyalah yang akan mengubah anak itu menjadi Yahudi…” menjadi tidak bermakna. Karena kedua orangtuanya berbuat sesuatu yang telah menjadi fitrah anaknya ketika lahir. Hal ini bertentangan dengan permisalan yang dibuat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits (yaitu anak lahir dalam keadaan selamat, seperti hewan lahir tanpa cacat. Kalau kemudian terjadi buntung (putus telinganya), siapa yang berbuat?)

Sebagian ulama menyatakan, maknanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kepada mereka pengenalan dan pengingkaran (terhadap Penciptanya). Dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengambil persaksian dari keturunan (anak-anak Adam), semuanya berkata (menjawab): “Betul.”1 Ahlu sa’adah (orang-orang yang bahagia/ selamat) akan menjawabnya dalam keadaan suka (menerima). Adapun ahlu syaqawah (orang-orang yang celaka) menjawabnya dalam keadaan terpaksa. Muhammad bin Nashr berkata: Aku mendengar dari Ishaq bin Rahawaih bahwa dia condong kepada pendapat ini, dan beliau menguatkannya.

Pendapat ini disanggah dengan alasan bahwa perincian semacam ini (yaitu menjawab dengan suka atau terpaksa) membutuhkan penukilan (dalil) yang shahih. Tidak ada yang meriwayatkan seperti ini kecuali As-Sudi, itupun tanpa sanad. Ada kemungkinan pula diambil dari kisah Israiliyat. Demikian kata Ibnul Qayyim rahimahullahu, beliau dapatkan dari gurunya.

Ada pula yang berpendapat, yang dimaksud dengan fitrah ialah Al-Khilqah (ciptaan) yaitu dilahirkan dalam keadaan selamat, tidak tahu kekufuran dan keimanan. Kemudian ia akan meyakini apabila telah sampai masa taklif (dibebani syariat). Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Bar, dengan alasan sesuai dengan hadits (penyerupaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lahirnya hewan yang selamat, tidak buntung), dan hal ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Iyadh bin Himar. Karena maksud kata hanif dalam hadits tersebut adalah dalam keadaan istiqamah.

Pendapat ini terbantah, dengan alasan bila yang dimaksud demikian tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencukupkan perubahan (fitrah) kepada agama kufur saja tanpa menyebut agama Islam. Juga, ucapan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan menyebut ayat setelah menyebutkan hadits menjadi tidak berarti.

Termasuk yang menguatkan pendapat yang benar dalam hal ini adalah kalimat “…maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikan ia Yahudi.” Bukanlah berarti adanya fitrah menjadi syarat, namun untuk menjelaskan apa yang akan menghalangi sebab terjadinya. Seperti seorang anak lahir, kemudian ia menjadi seorang Yahudi. Hal ini terjadi karena adanya perkara dari luar fitrah yang memengaruhi. Berbeda bila ia tetap dalam keadaan muslim (maka ia akan tetap berada pada fitrahnya).

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Yang menyebabkan perselisihan para ulama dalam memaknai kata fitrah dalam hadits ini adalah bahwa kaum Qadariyah (para pengingkar takdir) menjadikan hadits ini sebagai hujjah (alasan), untuk menyatakan bahwa kekufuran dan kemaksiatan terjadi bukan karena ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi manusialah yang memulainya. Dari sinilah, beberapa ulama berupaya untuk menyelisihi pendapat mereka dalam menakwilkan fitrah kepada makna lain selain makna Islam.”

Kemudian beliau berkata: “Yang demikian itu tidak perlu. Karena ucapan-ucapan yang dinukil dari para ulama salaf menunjukkan bahwa tidak ada di antara mereka yang memahami lafadz fitrah selain makna Islam. Memaknakan fitrah dengan Islam tidaklah berkonsekuensi menyepakati pendapat mereka. Karena makna “maka kedua orangtuanyalah…dst” adalah bahwa hal itu terjadi juga dengan takdir (ketentuan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari sinilah Al-Imam Malik rahimahullahu menyanggah mereka dengan kalimat yang terdapat dalam riwayat lain yang di akhirnya berbunyi:

اللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Allah lebih mengetahui dengan apa yang akan mereka perbuat nanti.” (Al-Fath, 3/303-305)

 Lafadz:

فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Dalam Shahih Muslim terdapat tambahan riwayat dari jalan Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

أَوْ يُشَرِّكَانِهِ

“Menjadikannya seorang musyrik.”

Riwayat ini juga terdapat dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Musnad Al-Humaidi, dan Musykilul Atsar karya Ath-Thahawi. Dalam kitab yang sama, Al-Imam Ath-Thahawi menyebutkan riwayat dari jalan Suhail, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

أَوْ يُكَفِّرَانِهِ

“Menjadikannya seorang kafir.”

Ath-Thibi berkata: “(Huruf) fa` pada kalimat ini bisa sebagai at-ta’qib (mengikuti) sababiyyah (sebab) atau jaza` syarth muqaddar (jawaban dari kata kerja/fi’l syarat yang diperkirakan). Maknanya, apabila (setiap anak yang lahir) telah ditetapkan demikian (berada pada agama Islam), kemudian terjadi perubahan (pada agamanya), maka itu disebabkan oleh orangtuanya. Baik dengan cara pengajaran orangtua atau dorongan (ajakan) orangtua kepadanya. Sehingga, seorang anak yang agamanya mengikuti agama orangtuanya, (menunjukkan) bahwa hukum anak itu seperti hukum kedua orangtuanya.”

Asal Muasal Majusi

Abu Faidh Muhammad Al-Husaini berkata dalam kitabnya Tajul ‘Arus (1/4132, Maktabah Syamilah), menukil ucapan Al-Azhari: “Pencetus agama Majusi adalah seorang yang kecil/pendek kedua daun telinganya. Hal ini berdasarkan asal kata المجوس dari مِنج, artinya kecil/pendek, dan كُوس artinya dua daun telinga. Sebagian mengatakan bahwa Zaradusyt Al-Farisi bukanlah pencetus agama Majusi, karena ia hidup setelah Nabi Ibrahim q, sedangkan Majusi adalah agama lama (yang terdahulu). Hanya saja ia menjadi pembaru, menampakkan serta menyebarkannya.

Penyerupaan Kaum Qadariyah sebagai Majusi Umat Ini

Adapun hadits yang menyebutkan adanya penyerupaan kaum Qadariyyah (para pengingkar takdir) dengan Majusi, seperti yang tersebut dalam hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ

“Al-Qadariyah majusinya umat ini.” (HR. Abu Dawud)

Karena kaum Majusi memiliki keyakinan adanya dua hal yang mendasar, adanya dua pencipta/dewa, yaitu Cahaya dan Kegelapan. Cahaya yang mendatangkan (menciptakan) kebaikan, sedang kegelapan yang mendatangkan (menciptakan) keburukan. Demikian pula dengan kaum Qadariyah, mereka meyakini bahwa kebaikan itu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakannya. Sedangkan keburukan, manusia atau setanlah yang menciptakannya. Keyakinan seperti adalah keyakinan yang batil (salah), karena segala sesuatu apapun bentuknya (kebaikan/keburukan), Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang menciptakannya. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan dalam Al-Qur`an:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir (ketentuan/ ketetapan).” (Al-Qamar: 49)

 Lafadz:

كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ

“Seperti hewan yang melahirkan seekor hewan yang sempurna, apakah kalian melihat padanya ada buntung (perubahan)?”

Makna جَمْعَاءَ yaitu, tidak ada sesuatu pun dari badannya yang hilang. Dinamai demikian karena terkumpulnya seluruh anggota badan (tidak ada yang kurang/buntung).

Makna جَدْعَاءَ yaitu, yang putus (buntung) telinganya.

Ath-Thibi berkata: “Kata ini menjelaskan tentang selamatnya hewan tersebut dari cacat. Dalam lafadz ini terdapat penguat bahwa setiap orang yang melihat kepada hewan (yang baru lahir), ia akan mengatakan hal itu, karena nampak keselamatannya (tidak ada cacatnya).”

Pada lafadz ini terdapat isyarat kepada bahwa ketetapan mereka di atas kekufuran adalah disebabkan oleh ketulian (tidak mau mendengar) perkara yang benar (al-haq).

Makna هَلْ تُحِسُّونَ yaitu, apakah kalian melihat, berasal dari kata الْإِحْسَاسُ yaitu rasa. Maksudnya adalah pengetahuan terhadap sesuatu, yang dengannya menghendaki/ menginginkan bahwa hewan yang lahir itu dalam keadaan sempurna (tidak cacat/buntung). Hanya saja, setelah itu pemiliknyalah yang menjadikan hewan tersebut menjadi buntung/putus telinganya, bukan bawaan dari lahir. Seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu setelah menyebutkan hadits, beliau membaca:

فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang lurus.” (Ar-Rum: 30)

Lafadzﯠ ﯡ ﯢ ﯣﯤ maknanya adalah لاَ تَبْدِيلَ لِدِيْنِ اللهِ “Tidak ada perubahan pada agama Allah”, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, dan Sa’id bin Jubair. (Lihat Al-Fath, 3/306, 8/630)

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang Hadits Ini

Sebuah pertanyaan pernah diajukan kepada Al-Lajnah: Ada sebuah hadits yang mulia berbunyi: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanya-lah yang akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Majusi atau Nasrani.” Dan hadits lain berbunyi: “Setiap jiwa yang lahir telah ditetapkan rizki dan amalannya, apakah ia celaka ataukah bahagia.” Bagaimana perincian dan penjelasannya, serta apa perbedaan antara kedua hadits ini?

Jawabannya:

Pertama, hadits yang pertama diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, dan Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dengan lafadz: “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah.”

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan dengan lafadz: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana hewan yang melahirkan anaknya, apakah kamu melihat darinya perubahan (buntung)?”

Makna hadits ini adalah bahwa setiap manusia dilahirkan (ditetapkan) berada pada fitrahnya (Islam), namun perlu adanya pengajaran kepadanya dengan perbuatan (untuk tetap senantiasa berada dalam Islam). Maka barangsiapa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan keadaannya sebagai orang yang beruntung (Islam), Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mempersiapkan baginya seorang yang mengajarinya kepada jalan yang benar, dan menjadilah anak itu siap untuk melakukan kebaikan. Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telantarkan dan tetapkan sebagai orang yang celaka, Dia akan jadikan sebab orang yang akan mengubah fitrahnya sehingga mampu mengubah ketetapan fitrahnya. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam hadits, yaitu adanya peranan kedua orangtua dalam mengubah anaknya (yang berfitrah Islam) menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Kedua, dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bercerita kepada kami dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan: -Al-Hadits-. Makna ketetapan seseorang itu celaka atau bahagia, hal itu merupakan ketetapan yang azali (abadi) berdasarkan ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mendahuluinya. Keadaan akhir hidup seseorang juga sesuai dengan ilmu Allah l yang telah mendahuluinya.

Ketiga, dengan menelaah makna hadits yang pertama dan kedua di atas serta memerhatikan pertanyaan yang diajukan, disimpulkan bahwa kedua hadits tersebut tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Karena sesungguhnya manusia diciptakan di atas ketetapan fitrah yang baik. Jika dia dijadikan sebagai orang yang bahagia sebagaimana ketetapan ilmu Allah, maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi husnul khatimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mempersiapkan orang yang akan menunjukinya kepada jalan kebaikan. Sebaliknya, jika keberadaanya sebagai orang yang celaka sebagaimana ketetapan ilmu Allah maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi celaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga akan mendatangkan baginya seorang yang akan memalingkan dirinya dari jalan kebaikan, menemani dan mengajaknya pada jalan keburukan, dan selalu menyertainya hingga ditetapkan baginya akhir hidup yang buruk.

Telah banyak dalil yang menyebutkan adanya ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mendahului sebelum penciptaan manusia, baik kebahagiaan atau keburukan. Dalam Shahih Al- Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidaklah setiap jiwa yang ditiupkan ruh padanya kecuali Allah tetapkan tempatnya dari penghuni jannah atau neraka, dan telah ditetapkan sebagai seorang yang celaka atau bahagia.” Kemudian seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kita hanya berdiam saja (pasrah) dengan apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan meninggalkan amal perbuatan (berusaha)?” Beliau bersabda: “Beramallah (berusahalah), setiap kalian akan dimudahkan dengan apa yang telah ditetapkan baginya. Orang-orang yang ditetapkan bahagia mereka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia. Adapun orang-orang yang telah ditetapkan celaka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى. وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah).”

Hadits di atas menerangkan bahwa celaka dan bahagia merupakan suatu ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hal itu ditentukan sesuai dengan amal perbuatan. Setiap orang akan dimudahkan untuk menjalankan amal perbuatan sebagaimana yang telah ditentukan baginya, yang mana hal tersebut akan menjadi sebab dia bahagia atau celaka.

Wabillahi taufiq. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beserta sahabat beliau seluruhnya.

Al-Lajnah Ad Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta`

Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil: Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah, 5/343-345, Maktabah Syamilah)

Walaupun setiap anak lahir akan berada pada fitrahnya, namun orangtua memiliki peran yang besar. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sebagian ulama berkata: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan tanggung jawab orangtua atas (pendidikan) anak, sebelum menanyakan kepada anak atas baktinya kepada orangtua. Karena, sebagaimana orangtua memiliki hak atas anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada orangtuanya), anak juga memiliki hak atas orangtuanya (berupa kewajiban yang harus ditunaikan oleh orangtua kepada anak). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)

Barangsiapa yang menelantarkan anak dari pendidikan (agama) yang akan bermanfaat baginya, serta membiarkannya hidup sia-sia tanpa guna, ia telah melakukan kesalahan yang fatal. Karena, kerusakan yang terjadi pada kebanyakan anak berasal dari orangtua dan ketidakpedulian mereka atas pendidikan anak mereka. Mereka tidak mengajari anak tentang perkara-perkara yang Allah l wajibkan dan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sunnahkan. Mereka telah menyia-nyiakan anak-anak sewaktu kecilnya. Dengan sebab itu, orangtua tidak memperoleh manfaat (kebaikan) untuk dirinya sendiri. Dengan sebab itu pula, anak tidak akan memberi manfaat kepada orangtuanya kala mereka telah lanjut usia. Seperti adanya anak yang membalas kejelekan orangtua dengan kedurhakaannya. Bisa jadi anak akan berkata: “Wahai ayahku, engkau telah berbuat jelek di masa kecilku, maka akupun mendurhakaimu di masa tuamu. Engkau telah sia-siakan diriku di masa kecilku, akupun menyia-nyiakanmu di masa tuamu.”

Oleh karena itu, orangtua hendaknya mencurahkan tenaga dan upaya untuk mendidik anak-anaknya. Hidayah (petunjuk) itu berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Manusia tidak akan mampu memberi hidayah kepada dirinya sendiri, terlebih lagi memberi hidayah kepada orang lain.

Inilah Nuh, salah seorang nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya. Beliau berharap sangat agar anaknya ikut bersamanya dan bukan bersama orang-orang kafir, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلاَ تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ. قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ

“Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau berada bersama orang-orang kafir.’ Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku dari air bah.’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah saja yang Maha Penyayang.’ Gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 42-43)

Seorang salaf yang bernama Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata: “Telah lahir anakku lalu aku beri nama Sa’d (kebahagiaan). Namun ia tidak bahagia dan tidak pula beruntung.” Beliau pernah berkata kepada anaknya: “Pergilah engkau (belajar) kepada Hisyam Ad-Dustuwa`i.” Anak itu menyahut: “Saya ingin melepas burung merpati.”

Demikian pula penuturan Isma’il bin Ibrahim bin Miqsam, seorang lelaki yang shalih. Di antara anak-anaknya ada yang bernama Ibrahim, namun ia menjadi seorang yang berpemikiran Jahmiyah tulen (pengikut Jahm bin Shofwan, yang memiliki aqidah menolak nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya) dan berpendapat bahwa Al-Qur`an adalah mahkluk.

Hidayah berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun seorang hamba harus menempuh sebab. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan kepadanya (anak), tentulah dia akan tunduk kepada nasihat. Namun jika Dia menghendaki lain, maka ia akan berada di atas kebatilan. Seorang penyair berkata:

Jika perangai itu adalah perangai yang jelek

Maka tidak ada pendidikan maupun pendidik yang berguna

(Sebagian dinukil dari Nashihati lin Nisa`, hal.75-76, cet. Darul Haramain)

Tiada permohonan yang pantas kecuali meniru apa yang telah diucapkan oleh orang-orang shalih kepada Rabb mereka dalam doanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)

Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Seperti yang tersebut dalam surat Al-A’raf ayat 172:

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى

“Bukankah Aku ini Rabb kalian?” Mereka menjawab: “Benar.”


Oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

Artikel : AsySyariah.com

Thursday, 16 June 2011

Agar Buah Hati Tak Lagi Takut Hantu

Penulis: Ummu Rumman

Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

“Ummi, Ahmad pingin ke kamar mandi. Anterin ya Mi…”
Ummu Ahmad (bukan nama sebenarnya) kaget ketika suatu malam Ahmad, anaknya yang sudah berumur 10 tahun tiba-tiba minta diantarkan ke kamar mandi.
“Ahmad anak shalih… kok tumben minta diantar ke kamar mandi? Biasanya berani sendiri.”
“Ahmad takut ketemu hantu Mi…” kata Ahmad dengan wajah ketakutan.


Kisah ini mungkin sangat sering kita jumpai. Tak hanya anak kecil, bahkan banyak orang dewasa yang mengaku takut terhadap hantu. Masih banyaknya budaya dan kepercayaan terhadap hal-hal mistis yang bertentangan dengan syariat, ditambah lagi maraknya cerita maupun film-film misteri di tengah masyarakat semakin memperparah kerusakan dan mengikis keimanan.

Rasa takut anak kepada hantu, bagaimanapun harus mendapat perhatian khusus dari orang tua. Karena bila ketakutan sang anak tetap terpelihara, tak hanya membentuk mental penakut pada diri anak tetapi juga dapat mengurangi kesempurnaan tauhid yang sangat kita harapkan terbentuk pada diri sang anak.

Sekilas tentang Rasa Rakut (Khauf)

Sangat penting bagi orang tua untuk bisa melatih anak mengatur rasa takutnya. Bukan hanya sekedar agar anak menjadi pemberani, tetapi lebih karena rasa takut adalah bagian dari ibadah. Rasa takut adalah bagian dari rukun yang harus ada dalam ibadah, di samping rasa cinta dan harap.

Macam-macam takut

Ulama telah membagi rasa takut menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Takut ibadah atau disebut juga takut sirri (takut terhadap sesuatu yang ghaib).
Takut ibadah dibagi menjadi dua macam:

a. Takut kepada Allah, yaitu takut yang diiringi dengan merendahkan diri, pengagungan, dan ketundukan diri kepada Allah. Takut semacam inilah yang akan mendatangkan ketaqwaan dan ketaatan sepenuhnya kepada Allah. Oleh karena itu, rasa takut seperti ini hanya boleh ditujukan kepada Allah semata karena merupakan salah satu konsekuensi keimanan.

Allah berfirman, yang artinya, “Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
QS. Ali Imran 175)

b. Takut kepada selain Allah, yaitu takut kepada selain Allah dalam hal sesuatu yang ditakuti itu sebenarnya tidak dapat melakukannya dan hanya Allah-lah yang dapat melakukannya. Takut semacam ini banyak terjadi pada berhala, takut pada orang mati, takutnya para penyembah kubur kepada walinya, dll. Rasa takut ini merupakan syirik akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari keIslaman.

2. Takut yang haram, yaitu takut kepada selain Allah, yang bukan ibadah tetapi menyebabkan ia melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban. Takut semacam ini dapat mengurangi ketauhidan seseorang.

3. Takut thobi’i (normal). Yaitu takut pada hal-hal yang bisa mencelakakan kita (dengan izin dan kekuatan dari Allah). Misalnya, takut pada binatang buas, api, dll. Takut semacam ini wajar ada pada diri manusia dan dibolehkan selama tidak melampaui batas.

4. Takut wahm (khayalan), yaitu takut pada sesuatu yang sebabnya tidak jelas. Misalnya, takut pada hantu. Takut semacam ini tercela.

Seorang anak yang masih dalam fase pertumbuhan dan sedang mengalami masa belajar, ia mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan kadang disertai pula daya imajinasi yang tinggi. Oleh karena itu, ketika ia mendengar cerita tentang berbagai macam hantu entah dari berbagai media massa, atau dari orang-orang di sekitarnya, hal tersebut bisa menimbulkan rasa takut yang berlebihan. Apalagi bila sang anak pernah mengalami trauma karena ditakut-takuti temannya atau karena pernah mengalami gangguan jin.

Rasa takut kepada hantu atau setan, bisa mengantarkan kepada syirik akbar. Jika sampai membawa pada peribadatan kepada selain Allah. Bentuknya bermacam-macam, ada yang memberi sesajian agar tidak diganggu, membaca berbagai mantera, datang kepada dukun untuk meminta jimat, dan sebagainya.

Pada anak, mungkin tak sampai separah itu. Namun tak jarang kita dapati, karena rasa takut kepada hantu atau semacamnya, anak menjadi takut keluar kamar untuk mengambil wudhu pada pagi hari. Sang anak menjadi menunda-nunda waktu shalat Subuhnya. Ini hanyalah salah satu contoh. Tetapi sekali lagi, hal ini dapat mengurangi kesempurnaan tauhid sang anak.

Ketakutan anak bisa diperparah jika orangtuanya pun tidak paham syariat sehingga demi mengatasi rasa takut anaknya sehingga membawa anak pada kesyirikan. Misalkan menggantungkan jimat pada anak sehingga sang anak terus bergantung pada jimat tersebut hingga ia dewasa.

Cara Mengatasi Rasa Takut Anak kepada Hantu

Bagi orang tua sangat penting mengetahui bagaimanakah cara mengatasi ketakutan anak dengan cara yang sesuai syariat. Antara lain:

1. Tanamkanlah pada anak tauhid dan aqidah yang benar.

Cobalah cari tahu apa yang sebenarnya ditakutkan oleh sang anak pada saat keadaannya tenang. Rangsanglah anak dengan beberapa pertanyaan. “Adik takut hantu ya? Memangnya hantu itu apa sih?”

Jika sang anak menjawab bahwa hantu adalah pocong, genderuwo, nyi loro kidul, kuntilanak, atau semacamnya, jelaskan bahwa hantu-hantu semacam itu tidak ada sama sekali sehingga tidak perlu ditakutkan. Jika yang ditakutkan anak adalah orang mati, maka jelaskanlah bahwa orang mati takkan bisa memberi manfaat maupun bahaya bagi orang yang masih hidup.

Adapun jika sang anak telah mengerti bahwa yang dimaksud orang-orang dengan hantu adalah penjelmaan dari setan atau jin yang hendak mengganggu manusia, maka orangtua haruslah menjelaskan kepada anak bahwa tidak ada kekuatan yang paling kuat kecuali kekuatan Allah. Seluruh makhluk, termasuk jin dan setan di bawah pengaturan Allah. Ajarkan pada anak meskipun seluruh jin dan manusia ingin mencelakakannya, akan tetapi Allah tidak menakdirkannya, maka ia takkan celaka. Begitu pula sebaliknya.

Sungguh indah contoh yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menasehati Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang ketika itu masih kecil.Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,

“Pada suatu hari saya pernah membonceng di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, “Wahai anak muda, sesungguhnya akan kuajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Ia juga akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, andaikan saja umat seluruhnya berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Dan andaikan saja mereka bersatu untuk menimpakan bahaya terhadapmu, mereka tidak akan bisa memberikan bahaya itu terhadapmu kecuali sesuatu yang Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembar catatan telah kering.”
(HR. Tirmidzi)

Jelaskan pada anak pada hal apakah ia harus takut (yaitu takut kepada Allah), pada hal-hal apakah ia boleh takut tetapi tidak berlebihan dan hal-hal apa yang ia tidak boleh takut sama sekali. Hendaklah orang tua mengenalkan kepada anak-anaknya kepada Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Karena dengan pengenalan kepada Allah, seorang anak akan mengetahui keagungan Allah, keMahaKayaanNya, kekuasaan-Nya. Yang harus orang tua ingat, mengajarkan rasa takut kepada Allah juga harus disertai pengajaran rasa cinta dan harap kepada Allah. Sehingga hal ini menjadikan anak ikhlas dan giat dalam beramal serta tidak mudah putus asa.

2. Ajarkan wirid dan doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ada banyak wirid dan doa yang bisa diajarkan pada anak. Misalnya, wirid pagi dan sore, doa sehari-hari seperti doa masuk WC, doa singgah di suatu tempat, doa hendak tidur, dll. Pilihlah bacaan wirid dan doa sesuai kapasitas kemampuan anak.

Tak hanya sekedar menghafal, tapi juga pahamkan mereka arti dari doa tersebut sehingga mereka mengamalkan doa-doa tersebut dengan penuh keyakinan akan manfaat doa bagi dirinya. Ajarkan pada anak bahwa doa dan wirid adalah senjata dan perisai bagi kaum mukmin. Karena itu, bila rasa takut menyerang, yang terbaik dilakukan adalah meminta perlindungan dan pertolongan Allah, Rabb seluruh makhluk. Sesekali ingatkan atau tanyakan pada anak arti dari doa tersebut. Sekaligus untuk mengetahui apakah sang anak sudah mengamalkan doa-doa tersebut ataukah belum.

3. Jauhkanlah anak dari hal-hal yang mendatangkan rasa takut kepada hantu.
Misalnya cerita misteri, patung dan lukisan makhluk bernyawa, dll. Cerita misteri atau berbau mistis kadang lebih menarik bagi anak karena imajinasi mereka yang tinggi dan masih belum terkontrol baik. Oleh karena itu, kenalkanlah anak dengan kisah-kisah para Nabi, sahabat-sahabat Rasulullah, maupun kisah shahih lain yang dapat mengajarkan anak keimanan, keberanian dan akhlaq yang baik. Jangan hanya sekedar menyediakannya buku/majalah, meskipun ini juga hal yang penting. Sesekali ceritakanlah langsung dengan lisan anda agar hikmah dan nilai kisah lebih mengena di hati anak. Ini juga akan lebih mendekatkan orang tua dengan sang buah hati.

4. Ajarkan pula pada anak untuk tidak menakut-nakuti temannya meski hanya bermaksud untuk bercanda.
Pahamkan pada anak untuk bercanda dengan baik.

5. Bila orang tua ternyata adalah seorang penakut, berusahalah untuk tidak menampakkan hal tersebut di depan sang anak.
Sebagaimana kita tidak ingin anak menjadi penakut, maka latihlah diri sendiri untuk tetap tenang dan menghilangkan sifat penakut dari diri kita.

Jika suatu ketika sifat penakut kita diketahui oleh sang anak, tak ada salahnya melibatkan anak dalam usaha menghilangkan sifat penakut kita. “Astagfirullah, tadi Ummi kok menjerit ya pas lampu mati? Menurut adik, Ummi harusnya gimana? Iya adik benar, harusnya tetap tenang dan minta perlindungan sama Allah. Lain kali kalau Ummi menjerit lagi, adik ingatin Ummi ya….” Hal ini juga akan mengajarkan pada anak bagaimana seharusnya ia bersikap ketika ada orang lain atau temannya yang ketakutan.

Jangan pula menakut-nakuti anak dengan ancaman yang tak berdasar atau bertentangan dengan syariat. Misalnya, “Jangan main dekat sungai ya! Nanti diculik genderuwo penunggu sungai lho” Hal ini sering tanpa sadar dilakukan oleh para orang tua. Maka wahai para pendidik, bekalilah diri dengan ilmu syar’i dalam mendidik anak-anak kita.

6. Berdoalah untuk kebaikan anak
Hal yang sering luput dari orang tua adalah berdoa untuk anak-anaknya. Padahal doa merupakan salah satu pokok yang harus dipegang teguh orang tua. Doa orang tua bagi kebaikan anaknya adalah salah satu jenis doa yang dijanjikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan dikabulkan oleh Allah (HR. Baihaqi). Termasuk di antaranya, hendaknya orang tua mendoakan agar anak dilindungi dari gangguan setan.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memintakan perlindungan untuk Hasan dan Husain dengan mengucapkan,
“Aku memohon perlindungan untukmu berdua dengan kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, dan juga dari setiap mata yang jahat.” Selanjutnya beliau bersabda “Adalah bapak kalian (yaitu Ibrahim) dahulu juga memohonkan perlindungan untuk kedua puteranya, Ismail dan Ishaq, dengan kalimat seperti ini.”
(HR. Bukhari)

Inilah sebagian cara yang semoga bisa mengatasi rasa takut anak terhadap hantu. Orang tua hendaknya bersabar dalam membantu anak mengatasi rasa takutnya dengan tetap memprioritaskan pendidikan aqidah dan tauhid pada anak. Semoga kelak anak tumbuh menjadi sosok muslim-muslimah yang beraqidah lurus, beramal shalih dan mempunyai ketawakkalan tinggi kepada Allah. Wallahu Ta’ala a’lam. (Ummu Rumman)

Maraji’:
Bila Anak Anda Takut Hantu, Ummu Khaulah, Majalah As Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1424H/2004M
Mendidik Anak Bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Muhammad Suwaid, penerbit Pustaka Arafah
Mutiara Faidah Kitab Tauhid Syaikh Muhammad At Tamimi, Abu ‘Isa Abdullah bin Salam, penerbit Divisi Bimbingan Masyarakat LBI Al Atsary Yogyakarta
Syarah Tiga Landasan Utama, Syaikh Abdullah bin Shalih al Fauzan, Pustaka At Tibyan

Artikel : muslimah.or.id

Monday, 30 May 2011

Wahai Anakku, Kami Menginginkan Pahala Itu

Ya Bunayya,..engkau buah hati kami. Padamu tergantung masa depan kami. Dunia kami dan akhirat kami. Hilang letih dan lelah kami ketika melihat engkau beranjak dewasa tumbuh dengan akhlak mulia. Wahai anakku,… engkau hidup di penghujung zaman yang semakin banyak kerusakan dan fitnah yang menyambar setiap detik nafasmu. Jikalah tidak engkau bergantung pada Zat Yang Maha Kuat dan Kuasa pada siapa lagi engkau kan berlari.
Kami tidak perduli melihat para orang tua yang sibuk memilih dunia untuk belahan jiwa mereka. Yang berkorban dengan apa saja agar anak-anaknya berhasil meraih pangkat dan kedudukan di hati manusia.

Yang bila mana kami lupa memanggil anaknya dengan nama biasa, maka mereka akan segera tergesa-gesa meralat,.. maaf anak kami adalah seorang dokter panggillah nama depannya dengan jabatannya.

Duhai penyejuk hati yang gundah,… kami menginginkan dunia hanya sebagai bekal untukmu menuju akhirat yang abadi. Karena itu kami tidak kecewa bila mendapati nilai C pada matematikamu atau fisikamu. Tetapi sungguh kami akan menangis dan berduka bila engkau lalai pada perintah Rabbmu.

Duhai penyejuk mata,…. di hari yang semakin mendekati kepunahan. Tak lelah kami mendidikmu dengan Al-Qur’an. Betapa engkau sangat kami inginkan menjadi penghafal dan pengamal Al Qur’an. Siang malam kami bersabar dan tak kecewa membetulkan bacaanmu yang yang tertatih-tatih dan terlupa dari satu ayat Al-Qur’an.
Demikian pula doa senantiasa kami panjatkan untuk kalian agar Allah memberi kemudahan.

Untukmu bunayya,… bersabarlah di hari yang sulit ini. Sungguh engkau akan menikmati jerih payahmu
ketika dewasa nanti.Janganlah engkau lupakan kami dalam doamu .Semoga Allah di kemudian hari, memberi kelapangan pada kubur kami yang sempit nanti.

Ya bunayya,…. engkau pasti kan bertanya, mengapa orang tua kami melakukan hal ini untuk kami? Jawabnya,… karena ia adalah suatu kebiasaan yang telah di wariskan oleh para pendahulu kita(salafus shalih).

Begitu pula telah kami dapati dalam ucapan Nabimu yang mulia shalallahu alaihi wassalam diriwayatkan dari Buraidah bin Hushaib radhiyallahu anhu ia berkata: “Pernah ketika aku sedang berada di sisi Rasulullah shalallahu alaihi wassalam maka aku pernah mendengar beliau bersabda,

“Al-Qur’an itu akan menemui ahlinya pada hari kiamat ketika kubur telah terbelah seperti seorang laki-laki yang berwajah putih berseri. Ia berkata pada laki-laki tadi,”Apakah kamu mengenaliku?” dia menjawab,”Aku tidak mengenalimu” Ia berkata,”Aku adalah temanmu, Al-Qur’an yang dulu selalu membuat kering tenggorokanmu di siang hari dan begadang di malam hari. Dan setiap pedagang tentulah mengharapkan keuntungan dari barang dagangannya, dan kamu pada hari ini mendapatkan keuntungan dari usahamu.”Kemudian di berikan untuknya kerajaan di tangan kanannya dan keabadian (surga) ditangan kirinya, di letakkan mahkota kebesaran di kepalanya, dan dikenakan bagi kedua orangtuanya dua pakaian (teramat indah) yang belum pernah dikenakan oleh penduduk bumi. Keduanya berkata: ”Dengan amalan apa kami bisa memperoleh pakaian seperti ini?” Dikatakan: “Dengan (kesabaran)mu dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anakmu” Kemudian diperintahkan kepadanya, Bacalah (Al-Qur’an) dan naikilah tangga-tangga surga dan masuklah ke kamar-kamarnya” Maka dia terus naik (derajatnya) selama dia membacanya dengan cepat atau dengan cara tartil (perlahan-lahan)”
(HR. Ahmad)1

Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang marfu’ (sampai) kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam beliau bersabda,
“…. dan dikenakan kepada kedua orangtuanya dua pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia dan seisinya. Keduanya berkata, “Ya Rabb, Bagaimana kami bisa mendapatkan balasan seperti ini !! dikatakan :”Dengan mendidik Al-Qur’an kepada anak-anakmu”
(HR. Ath-Thabrani).2

Wahai bunayya,.. betapa kami menginginkan pahala itu. Kami-pun menyadari tidaklah mudah untuk mendapatkannya. Karena memang segala sesuatu harus diraih dengan kerja keras yang gigih dan kesabaran yang tak bertepi. Lelah dan letih kami akan di hargai-Nya karena Allah Yang Maha Mulia telah berfirman:

“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (39) dan bahwasanya usahanya itu kelak akan di perlihatkan kepadanya (40) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (41).
(An-Najm :39-41).

Sungguh kami yakin wahai bunayya,… jika sekiranya para orangtua mengetahui keutamaan dan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya karena mengajarkan Al-Qur’an pada buah hati mereka, niscaya mereka akan berlomba-lomba untuk mengajarkan anak-anaknya Al-Qur’an, membimbing mereka untuk selalu membaca, menghayati maknanya dan mengamalkannya dalam kehidupan yang fana ini.

Sumber bacaan :

1. Tafsir Ibnu katsir jilid 9 , Pustaka Imam ASy-Syafi’i, Jakarta, 2008.
2. Keagungan Al-Qur’an Al-karim, Syaikh Mahmud Al Dosari, Maktabah Darus salam, Riyadh, 2006.

Murajaah oleh : Ustadz Eko Hariyanto Lc(Abu Ziyad)

1. Hadits riwayat Ahmad dalam kitab Al-Musnad,
5/238 [↩]
2. Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam kitab Al Ausath, 6/51, hadits no.5764. Syaikh Al-Bani menyebutkan hadits ini dalam kitab Silsilah Hadits Shahih, 6/792, hadits no.2829. [↩]

Sumber : jilbab.or.id

Wednesday, 9 February 2011

Ayah, Ibu…sayangilah aku, bercandalah denganku..

Wahai saudaraku pendidik, menyayangi dan bersenda gurau dengan anak kecil termasuk bentuk kasih sayang dan kedalaman pemahaman seseorang dalam dien.

Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa sallam adalah sosok pemimpin manusia yang sangat bersikap lemah lembut terhadap anak-anak kecil. Seperti kita ketahui beliau pernah menggendong Hasan di atas pundaknya, Beliau pun mengajak tertawa, membuka mulut dan menciumnya, serta memperlihatkan dia sedang bermain, lari ke sana ke mari. Setelah itu Nabi Shallallahu’Alaihi wa sallam pun menangkapnya. Subhannallah…


Wahai saudaraku pendidik, tidakkah kita bercermin dari Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa sallam?
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan:
“Bahwasanya Rasulullah mencium Al-Hasan bin Ali kala itu Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi duduk di sisinya, Al-Aqra’ berkata: “Saya punya sepuluh orang anak namun tidak satu anakpun pernah saya cium!” Rasulullah menoleh kepadanya lalu berkata:
مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ
“Barangsiapa yang tidak menyayangi niscaya tidak akan disayang!”1

‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha meriwayatkan:
“Datang seorang arab badui menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata: “Apakah kalian mencium anak-anak? Adapun kami tidak mencium anak-anak! Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya:
“Sanggupkah kamu bila Allah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu!?”2

Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam juga bersenda gurau dengan menjulurkan lidah beliau kepada anak-anak. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa ”Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam pernah menjulurkan lidahnya di depan Hasan bin Ali, lalu ketika Hasan melihat merah lidah beliau, ia segera mendekat kepada beliau” 3

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam selalu memberi motivasi kepada para orang tua dalam hal menyayangi anak-anak, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Anas, ”Bahwa suatu ketika ada seorang perempuan datang ke rumah ’Aisyah Radhiyallahu’Anha lalu ’Aisyah memberikan tiga butir kurma kepadanya. Lalu perempuan itu memberikan masing-masing anak sebutir kurma sehingga ia menyisakan sebutir kurma untuk dirinya.

Lalu kedua anak itu masing-masing memakan kurmanya sambil memandang kepada ibunya. Kemudian ibunya mengambil kurma itu dan membelah mejadi dua lalu ia berikan kepada masing-masing anak separuhnya. Kemudian datanglah Nabi Shallallahu’Alaihi wa sallam, lalu beliau diceritakan ‘Aisyah Radhiyallahu’Anha. Setelah itu beliau bersabda:
”Sungguh apa yang dilakukan perempuan itu membuat kamu terpesona. Semoga Allah mengasihi dia karena kasih sayang dia kepada kedua anaknya yang masih kecil”4
Subhannallah…

Lalu kenapa ada ibu-ibu yang tega menyiksa anak-anak mereka, padahal Allah akan mengasihinya bila ia menyayangi anaknya?.
Bisa jadi dikarenakan mereka tidak mengetahui keutamaan dalam Islam untuk menyayangi anak kecil. Sungguh mereka telah merugi… Allahua’lam…
[Bintu Nashrun]

1. Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (X/426), Muslim (2318), Abu Dawud (XIV/129), At-Tirmidzi (1911), Ahmad (II/228, 241, 269, 514), Ibnu Hibban (2236), Al-Baghawi dalam Syarah Sunnah (XIII/34), dari jalur Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. At-Tirmidzi berkata: Hasan Shahih!

2 Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (X/426), Muslim ((2317), Ibnu Majah (II/390), Ahmad (VI/56-70), Al-Baghawi (XIII/34-35), dari jalur Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.

3 Al Silsilah As Shahihah, hal.70

4 HR. Bukhari, di dalam kitab Adabul Mufrad, kitabul Walidat Rahimat I : 89

Referensi:
Bekal-bekal Menuju Pelaminan, ,At-Tibyan Solo

Tumbuh di bawah naungan Illahi, Doa dan Kiat Nabi Shalallahu’alahi wa sallaam mendidik anak Sejak dalam Sulbi Ayah dalam Kandungan Ibu hingga Dewasa, syaikh Jamal Abdul Rahman, Penerbit Media Hidayah

Artikel : jilbab.or.id

Monday, 31 January 2011

Bingkisan Paling Berharga Untuk si Kecil Adalah Aqidah


Penulis: Ummu Ayyub
Dimurojaah oleh: Ustadz Subhan Khadafi

Fase kanak-kanak merupakan tempat yang subur bagi pembinaan dan pendidikan. Masa kanak-kanak ini cukup lama, dimana seorang pendidik bisa memanfaatkan waktu yang cukup untuk menanamkan dalam jiwa anak, apa yang dia kehendaki. Jika masa kanak-kanak ini dibangun dengan penjagaan, bimbingan dan arahan yang baik, dengan izin Allah subhanahu wata’ala maka kelak akan tumbuh menjadi kokoh. Seorang pendidik hendaknya memanfaatkan masa ini sebaik-baiknya. Jangan ada yang meremehkan bahwa anak itu kecil.


Mengingat masa ini adalah masa emas bagi pertumbuhan, maka hendaknya masalah penanaman aqidah menjadi perhatian pokok bagi setiap orang tua yang peduli dengan nasib anaknya.

Penanaman Aqidah

Aqidah islamiyah dengan enam pokok keimanan, yaitu beriman kepada Allah subhanahu wata’ala, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, serta beriman pada qadha’ dan qadar yang baik maupun yang buruk, mempunyai keunikan bahwa kesemuanya merupakan perkara gaib. Seseorang akan merasa hal ini terlalu rumit untuk dijelaskan pada anak kecil yang mana kemampuan berfikir mereka masih sangat sederhana dan terbatas untuk mengenali hal-hal yang abstrak.

Sebenarnya setiap bayi yang lahir diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala di atas fitrah keimanan.

Allah berfirman dalam QS. Al Α’rof: 172 yang artinya,“Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menajdi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).’”

Adalah bagian dari karunia Allah subhanahu wata’ala pada hati manusia bahwa Dia melapangkan hati untuk menerima iman di awal pertumbuhannya tanpa perlu kepada argumentasi dan bukti yang nyata. Dengan demikian, menanamkan keyakinan bukan dengan mengajarkan ketrampilan berdebat dan berargumentasi, akan tetapi caranya adalah menyibukkan diri dengan al Quran dan tafsirnya, hadits dan maknanya serta sibuk dengan ibadah-ibadah.

Kita perlu membuat suasana lingkungan yang mendukung, memberi teladan pada anak, banyak berdoa untuk anak, dan hendaknya kita tidak melewatkan kejadian sehari-hari melainkan kita menjadikannya sebagai sarana penanaman pendidikan baik itu pendidikan aqidah maupun pendidikan lainnya.

Teladan Kita

Jika kita perhatikan para rasul dan nabi, mereka selalu memberikan perhatian yang besar terhadap keselamatan aqidah putera-putera mereka. Perhatian nabi Ibrahim, diantaranya adalah sebagaimana terdapat dalam firman Allah subhanahu wata’ala yang artinya:

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub. (Ibrahim berkata): Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama islam.”
(QS. Al Baqoroh: 132)

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.”
(QS. Ibrahim: 35)

Demikian juga Lukman mempunyai perhatian yang besar pada puteranya sebagaimana wasiatnya yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:“(Luqman berkata): Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Luqman: 16)

“Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”
(QS. Luqman: 13)

Sejak Masih Kecil


Perhatian terhadap masalah aqidah hendaknya diberikan sejak anak masih kecil. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam memberikan perhatian kepada anak-anak meski mereka masih kecil. Beliau membuka jalan dalam membina generasi muda, termasuk diantaranya Ali bin Abi Thalib yang beriman kepada seruan nabi ketika usianya kurang dari sepuluh tahun. Begitu juga dalam menjenguk anak-anak yang sakit pun beliau memanfaatkan untuk menyeru mereka kepada Islam yang ketika itu di hadapan kedua orang tua mereka.

Kita juga bisa melihat bagaimana Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasalam mengajarkan permasalahan aqidah pada Ibnu Abas radhiyallahu ‘anhu yang pada saat itu dia masih kecil. Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: Pada suatu hari saya pernah membonceng di belakang Rasulullah lalu beliau bersabda, “Wahai anak muda, sesungguhnya aku mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Ia juga akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah. Ketahuilah, andaikan saja umat seluruhnya berkumpul untuk memberikan kemanfaatan kepadamu mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaikan saja mereka bersatu untuk menimpakan kemudharatan terhadapmu, mereka tidak akan bisa memberikan kemudharatan itu terhadapmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembar catatan telah kering.”

Jika para teladan kita begitu perhatian dengan anak-anak sejak mereka masih kecil, maka sangat mengherankan jika kita membiarkan anak-anak kita tumbuh dengan kita biarkan begitu saja terdidik oleh lingkungan dan televisi.

Masih banyak kita dapati bahwa oleh banyak orang, anak kecil dianggap tidak layak untuk diberi penjelasan mengenai Al Quran dan maknanya, dianggap tidak berhak untuk diberi perhatian terhadap mentalitasnya. Terkadang dengan berdalih “Kemampuan berfikir anak kecil masih sederhana, maka tidak baik membebani mereka dengan hal-hal yang rumit dan berat.

Tidak baik membebani anak di luar kesanggupan mereka.” Atau kita juga banyak mendapati ketika anak terjatuh pada kesalahan-kesalahan, mereka membiarkan begitu saja dengan berdalih “Ah… tidak apa-apa, mereka kan masih kecil.”

Dalih yang disampaikan memang tidak sepenuhnya salah, namun sayangnya tidak diletakkan pada tempatnya. Wallahu a’lam.

Maroji’: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Tilf (terj. Mendidik Anak Bersama Nabi)

Artikel : muslimah.or.id