Warung Bebas

Tuesday, 7 February 2012

Cinta Dalam Islam

Cinta Islam.
Islam datang, kemudian membuatkan syariat, menggariskan akidah, pemikiran, konsepsi, dan akhlak.Islam mengatur semua itu dan mengarahkannya kepada Dzat Yang Maha Tunggal.Maka inilah Cinta dalam Islam

Suatu ketika, Rasululluh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri di atas mimbar dan berkhotbah kepada para shahabat, namun tiba-tiba salah seorang Arab Badui menyela pembicaraan beliau.Beliau pun menoleh kepadanya dan bertanya : "Ada apa denganmu ?"

Ia balik bertanya : "Kapan terjadinya kiamat ?" Beliau pun diam, kemudian melanjutkan khotbahnya.Setelah selesai, beliau bertanya kepada orang itu : "Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi kiamat ?"

Ia menjawab : "Ya Rasululluh, demi Allah, aku belum menyiapkan diri untuk menghadapinya dengan banyak mengerjakan shalat, puasa, atau sedekah.Hanya saja, aku mencintai Allah dan RasulNya ".

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kemudian bersabda : "Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai ".
( HR. Bukhari (3688, 7153) dan Muslim (2639) dari shahabat Anas bin Malik r.a ).

cinta dalam islam,cinta Islam,Islam Cinta

Hasan Al-Bashri mengomentari hadist di atas berkata : "Janganlah kalian sampai tertipu oleh cinta begitu saja.Demi Allah, yang tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, kaum Nabi 'Isa putra Maryam juga sangat mencintai beliau sampai akhirnya menuhankan beliau.Dengan demikian, kecintaan yang mereka berikan itu menyebabkan mereka masuk neraka.

Imam Ghozali dalam kitab Al-Ihya' membawakan riwayat bahwa Ibnu Umar r.a pernah berkata : "Demi Allah, seandainya aku infakkan seluruh hartaku di jalan Allah, lalu aku berpuasa di siang hari tanpa pernah berbuka, dan selalu shalat malam tanpa pernah tidur, kemudian aku bertemu dengan Allah, namun aku tidak mencintai para pelaku ketaatan dan tidak membenci para pelaku kemaksiatan, maka aku khawatir jika Allah kelak akan menelungkupkan wajahku di dalam neraka ".

Bertolak dari sinilah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjadikan cinta sebagai akidah.

Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Rasulullah bersabda : "Barangsiapa mencintai Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menolak karena Allah, maka telah sempurnalah imannya ".
( HR. Abu Dawud (4681) dari Abu Umamah r.a ).
Cinta itu terbagi menjadi dua macam, yakni cinta yang bersifat fithri jibili ( sudah fitrahnya manusia diciptakan dengan sifat itu ) dan cinta yang bersifat sababi kasbi ( hasil upaya manusia ).

Cinta yang bersifat fithri jibili, seorang hamba tidaklah dicela karenanya.Sebab, Allah memang telah menciptakannya di atas fithrah seperti itu, seperti kecintaan seseorang kepada makanan, kecintaan kepada air, kecintaan kepada anak, isteri dan teman-teman.

Adapun cinta yang bersifat sababi kasbi adalah cinta irodi ( kehendak dan pilihan manusianya sendiri ), dimana Allah akan menghisab manusia atas cinta ini jika sampai memalingkannya untuk selain mencari keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya : "Bagaimana Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan ( musuh ), maka berteguhlah hatilah kamu dan sebutlah ( nama ) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung "
( QS. Al-Anfal (8) : 45 ).

Bagaimana Allah mengingatkan mereka agar menyebut nama-Nya pada saat-saat genting seperti itu.Bukankah di sana ada waktu selain waktu pertempuran dengan musuh, waktu perang dan waktu bertemunya pedang ?"

Beliau menjawab : "Sesungguhnya orang-orang yang dicintai itu menjadi terhormat disebabkan karena menyebut pihak yang mereka cintai pada saat-saat genting.

Tidakkah kalian pernah dengar syair yang dibawakan oleh 'Antaroh ketika ia berkata tentang kekasihnya :

Aku sebut namamu ketika anak panah menusukku
Sementara itu darah pun mengucur dari tubuhku
Aku ingin mengecup pedang itu
Karena ia berkilau seperti keberserian senyum bibirmu

Orang-orang jahiliyah dahulu saling memberikan pujian, bahwa mereka menyebut kekasih mereka pada waktu berkecamuknya perang.Lalu Allah hendak mengubah keyakinan yang berbau dosa itu dengan menyebut nama-Nya pada saat - saat genting.Oleh karena itu, termasuk dzikir yang paling utama adalah menyebut nama Allah pada saat bertempur melawan musuh-Nya.

Sumber mencari Ilmu : Menebar Kebaikan

Thursday, 2 February 2012

Pesan Seorang Ibu

Pesan Ibu
Ada sebuah pesan yang telah ditemukan di antara pesan-pesan dari kaum wanita Arab, yaitu pesan Umamah binti Harits, yang biasa dijuluki dengan panggilan Ummu Iyas binti 'Auf.Pesan ibu kepada putrinya yang akan menikah.Pesan yang disampaikan antara lain :

"Wahai putriku, sesungguhnya engkau sekarang beranjak dari nuansa yang selama ini engkau hidup di dalamnya dan engkau tinggalkan kehidupan yang selama ini biasa engkau alami. Seandainya ada seorang wanita yang tidak memerlukan suami karena kedua orang tuanya berkecukupan dan keduanya sangat memerlukannya, maka engkau adalah seorang wanita yang tidak memerlukan suami.

pesan ibu,pesan ibu bijak,pesan ibu kepada anaknya yang akan menikah

Akan tetapi, sudah menjadi takdir bagi wanita untuk diciptakan bagi laki-laki, begitu juga sebaliknya, laki-laki diciptakan untuk wanita.Oleh karena itu, kusampaikan beberapa pesan agar engkau bersama suami dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan baik :

1. Patuhlah kepada suami dengan menerima apa adanya dan mendengar kata-katanya dengan baik disertai ketaatan.

2. Senantiasalah engkau memperhatikan apa yang biasa dilihat matanya dan dicium oleh hidungnya.Untuk itu, jangan sampai pandangan matanya melihat hal yang buruk darimu dan jangan sampau hidungnya mencium darimu, kecuali bau yang harum.

3. Senantiasalah engkau memperhatikan waktu tidur dan waktu makannya, karena sesungguhnya ketegangan rasa lapar itu amat membakar dan kurang tidur itu dapat menimbulkan emosi kemarahan.

4. Jagalah hartanya dan peliharalah keluarga dan anak-anaknya.Adapun hal terpenting berkaitan dengan hartanya adalah mengaturnya dengan baik dan yang berkaitan dengan anak-anaknya adalah memelihara mereka dengan baik.

5. Janganlah engkau mendurhakai perintahnya dan jangan engkau membocorkan rahasianya, karena sesungguhnya jika engkau menentang perintahnya, berarti engkau akan membuat dadanya bergejolak, dan jika engkau membocorkan rahasianya, berarti engkau tidak akan luput dari penghianatannya.Selanjutnya, hati-hatilah jangan sampai engkau memperlihatkan sikap gembira di hadapannya, sedang dia dalam keadaan bersedih, dan jangan pula engkau memperlihatkan eksedihan di hadapannya, sedang dia dalam keadaan gembira."

Sumber : Menebar Kebaikan

Monday, 30 January 2012

Manfaat Dan Peran Ciuman Dalam Rumah Tangga

Manfaat Dan Peran Ciuman Dalam Rumah Tangga.

Banyak orang yang menikah tanpa berbekal pengetahuan memadai tentang pernikahan.Dia hanya tahu bahwa pernikahan adalah relasi yang sah secara syar'i antara laki-laki dengan perempuan, yang terbungkus dalam konsep yang berbeda-beda seiring perbedaan level sosial dan intelektual masing-masing orang.Perseptif Islam tentang pernikahan sebenarnya jauh lebih integral dan komprehensif daripada itu.Karena Allah menjadikan pernikahan sebagai penenang dan penentram.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :" Dan salah satu tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenang padanya.Dia juga menjadikan rasa kasih sayang di antara kamu.Sungguh, dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir ".
( QS. Ar-Rum : 21 ).

manfaat ciuman.ciuman dalam rumah tangga,manfaat ciuman bagi suami istri

Salah satu hal yang dapat menciptakan suasana yang baik, romantis dalam kehidupan rumah tangga adalah memberikan ciuman.Ciuman memiliki manfaat penting bagi kesehatan emosional, psikis, dan fisik manusia.Ibu menciumi anaknya setelah lahir, lalu anak itu di ciumi oleh ayah dan saudara-saudaranya.

Ciuman memiliki efek positif, laksana sihir dalam memberikan perasaan bahagia ke dalam perasaan anak-anak, membuat mereka merasakan cinta, kasih sayang, kehangatan, keamanan, dan kenyamanan.Ciuman juga memberikan mereka rasa percaya diri, karena ia membuat mereka merasa dicintai dan diinginkan.

Kebutuhan manusia akan ciuman terus berlanjut sepanjang hidupnya.Karib kerabat dan shahabat-shahabat berciuman satu sama lain dalam berbagai kesempatan.Pasangan suami isteri pun saling berciuman sepanjang kehidupan rumah tangga mereka, sampai berapa tua pun usia mereka.

Ciuman antara suami isteri tidak selalu bermotif seksual.Ia merupakan salah satu cara mengungkapkan perasaan dan isi hati.Ia cara terbaik untuk menyatakan permintaan maaf.Ia juga cara yang efektif untuk menyatakan keterpesonaan, rasa terima kasih, dorongan moril, atau lainnya.

Salah satu perusahaan asuransi jiwa di Amerika mengadakan penelitian tentang efek ciuman terhadap kehidupan manusia.Hasil yang didapatnya sebagai berikut :
Ciuman di pagi hari memiliki efek terapis yang lebih ampuh daripada apel.Suami yang dicium isterinya pada pagi hari sebelum berangkat kerja lebih jarang tertimpa kecelakaan lalu lintas, karena dia lebih tenang dan lebih mengendalikan syarafnya.Dia lebih mampu menanggung tekanan dan beban pekerjaan.Selain itu, pikirannya lebih rileks, tenang, santai,stabil, bahagia dan puas.

Dr.Coleman mengatakan : " Penelitian yang dilakukan terhadap ribuan orang menegaskan bahwa ciuman di pagi hari memicu sekresi tertentu dan proses kimiawi yang dapat membuat seseorang merasa nyaman dan tentram sehingga berpengaruh pada emosi-emosi batinnya."

Apabila istri mengetahui dan menyadari peran positif ini dalam memberi ketenangan dan kedamaian bagi suaminya, maka hendaklah dia memberikan suaminya ciuman hangat agar sang suami membalasnya sama.Betapa indahnya kehidupan jika disertai emosi dan perasaan yang timbal balik.

Sumber Mencari Ilmu : Menebar Kebaikan

Thursday, 26 January 2012

Akhlaq Mulia

Akhlak Baik dan Mulia.Alhamdulillah setelah hampir 2 bulan terakhir vakum maka hari ini kita kembali akan memposting mengenai akhlaq baik dan semoga bermanfaat kawan-kawan semuanya...

Pendidikan akhlak baik kepada generasi muda dimulai semenjak mereka berada dalam masa kanak-kanak, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam sebuah lembaga pendidikan. Walaupun, pada akhirnya itu semua kembali kepada hidayah dari Allah ‘azza wa jalla. Namun setidaknya, telah ada upaya dengan penuh kesungguhan dari diri kita yang diiringi dengan doa kepada Allah ‘azza wa jalla. Semoga anak cucu kita menjadi generasi yang berakhlak dengan akhlak yang mulia.

Dalam hal ini, sosok yang sangat pantas untuk kita jadikan sebagai teladan adalah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah mengaplikasikan sifat-sifat yang mulia semenjak masa kanak-kanak. Sehingga tidaklah mengherankan ketika di kemudian hari beliau menjadi orang kepercayaan di kalangan kaumnya sebelum diangkat menjadi nabi dan menerima banyak pujian dari mereka.

Allah ‘azza wa jalla telah memberikan pujian kepada beliau dalam firman-Nya
(artinya): ”Dan sesungguhnya kamu Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam 4)
Sungguh telah terkumpul pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhlak-akhlak yang baik seperti rasa malu, kedermawanan, keberanian, menepati janji, suka menolong, kecerdasan, lembut, memuliakan anak yatim, kejujuran, menjaga harga diri, menjaga kesucian hati, dan lain-lain.

‘Aisyah radhilyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah ditanya tentang akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab: “Maka sesungguhnya akhlak Nabi Allah Muhammad adalah Al-Qur‘an.” HR. Muslim dan Abu Dawud

akhlaq mulia,akhlaq baik

Allah ‘azza wa jalla berfirman (artinya):

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah." QS. Al-Ahzab 21

Sahabat Anas bin Malik radhilyallahu ‘anhu mengatakan

“Rasulullah adalah manusia yang paling baik akhlaknya.” HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud

Di tengah-tengah gencarnya dakwah tauhid yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tetap memberikan porsi kepada pembenahan akhlak. Hal ini tercermin dari sabda beliau

“Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” HR. Al-Baihaqi dan Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad

Keutamaan Akhlak yang Mulia

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menerangkan tentang keutamaan akhlak yang mulia, beliau bersabda :
“Tidak ada sesuatu yang diletakkan dalam timbangan di hari kiamat kelak yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya seorang yang berakhlak baik akan bisa mencapai derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat (sunnah).” HR. At-Tirmidzi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya dariku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.” HR. At-Tirmidzi

Urgensi Akhlak yang Baik dalam Dakwah

Akhlak yang mulia merupakan bekal berharga yang tidak boleh dianggap remeh oleh seorang da’i juru dakwah yang terjun ke masyarakat dalam rangka mengemban tugas yang agung nan mulia yaitu berdakwah ke jalan Allah. Akhlak yang mulia akan memberikan pengaruh yang luar biasa di hati-hati manusia.

Para pembaca yang berbahagia! Amalan dakwah ke jalan Allah merupakan amalan yang cukup berat, yang membutuhkan perjuangan fisik dan mental dari seorang da’i. Yang demikian itu memang sebanding dengan pahala dan keutamaannya yang besar. Oleh karena itulah, yang mampu mengemban tugas berat ini hanyalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat agung dan mulia dalam kehidupannya. Bukan orang-orang yang kasar perangainya, kotor dan tajam lisannya, sempit pandangannya, jelek pergaulannya, dan yang memiliki sifat-sifat tercela lainnya.

Seorang da’i, apabila telah mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan bekal akhlak yang mulia, niscaya dakwah ke jalan Allah yang ia serukan akan berguna dan memberikan manfaat serta akan lebih mudah untuk diterima di hati masyarakat.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam ceramahnya ketika memberikan nasehat kepada para pemuda tentang masalah Kebangkitan Islam bahwasanya dakwah Islam akan bisa meraih keberhasilan dan kesuksesan apabila para pemikul amanah tersebut memiliki beberapa bekal. Beliau menyebutkan beberapa bekal yang berkaitan dengan akhlak, di antaranya adalah:

1. Seorang da’i wajib memiliki sifat hikmah dalam berdakwah. Hendaklah ia tidak terburu-buru untuk menikmati hasil dalam usahanya merubah keadaan masyarakat yang jelek menjadi baik. Kemudian kata beliau …Dan sungguh –demi Allah– saya sangat senang sekali melihat kecemburuan para pemuda dan semangatnya dalam membasmi kemungkaran, menegakkan kebenaran serta memerintahkan kepada kebaikan. Namun aku lebih suka –demi Allah– dengan sepenuh hatiku, apabila mereka melandasi langkah-langkah tersebut dengan cara hikmah. Walaupun hasilnya agak lambat namun akan membawa akibat yang terpuji…

Kemudian beliau menyebutkan dalilnya, yaitu firman Allah (artinya):

”Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. An-Nahl 125

2. Memiliki sifat sabar dengan mengharap pahala dari Allah. Betapa banyak para generasi muda yang setelah mendapat hidayah untuk berjalan di atas jalan generasi salaf yang shalih, mereka bersemangat mengajak keluarganya kepada jalan tersebut. Namun kemudian datang berbagai keluhan dari mereka, bahwasanya mereka mendapatkan tekanan dari kedua orangtuanya baik dalam bentuk celaan, ejekan atau fitnah.

Maka wajib bagi kita untuk bersabar (dari cobaan tersebut) dengan mengharap pahala dari Allah dan tidak boleh putus asa. Dan jangan menjadikan hal itu sebagai penghalang dari dakwah ke jalan Allah.
Allah telah berfirman (artinya): ”Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga di perbatasan negerimu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” QS. Ali Imran 200

3. Berhias dengan akhlak yang mulia. Seorang da’i harus mencerminkan diri dalam kehidupannya sesuai dengan apa yang ia serukan. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap seorang da’i yang memberikan nasehat kepada umatnya untuk beramal sesuatu, namun ia sendiri tidak mengamalkannya? Demikiankah ?

4. Melandasi dakwahnya dengan kelemahlembutan. Tidak kasar atau selalu keras dalam cara penyampaian. Tidak tajam atau kotor dalam berbicara.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah memberikan kepada kelembutan apa yang tidak Dia berikan kepada kekasaran dan yang lainnya”. HR. Muslim

5. Menghidupkan sunnah ziarah saling mengunjungi saudara sesama muslim. Sunnah ini telah diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Sesungguhnya sunnah ini akan menumbuhkan kelembutan hati dan kecintaan kepada sesama muslim. Dan seorang da’i memiliki peran besar dalam mengamalkan sunnah ini.

6. Tidak boleh berputus asa tatkala melihat berbagai kerusakan di tengah masyarakat.

Cita-cita atau harapan merupakan pendorong yang kuat dan usaha demi keberhasilan dakwah. Sebagaimana putus asa merupakan sebab kegagalan dan berhentinya sebuah dakwah.

Pengaruh Akhlak yang Mulia

Berikut ini adalah contoh-contoh kisah tentang bagaimana akhlak yang mulia mampu memberikan pengaruh yang luar biasa dalam hati manusia sekalipun mereka adalah orang kafir.

1. Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan kaum musyrikin Quraisy di bukit Shafaa dalam rangka menjelaskan tentang risalah Islam. Beliau mengatakan kepada mereka: “Bagaimana menurut kalian apabila aku kabarkan kepada kalian bahwasanya akan keluar kuda dari balik kaki bukit ini, apakah kalian akan mempercayaiku?” Mereka menjawab: “Kami belum pernah mendapatimu berdusta.” HR. Al-Bukhari dan Muslim

2. Sahabat Anas bin Malik menceritakan,”Suatu hari kami para sahabat sedang duduk-duduk di masjid bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datanglah seorang arab kampung masuk ke dalam masjid kemudian kencing di dalamnya. Maka dengan serta merta para sahabat pun menghardiknya. Rasulullah bersabda, Jangan menghardiknya! Biarkan dia hingga tuntas kencingnya! “(Setelah selesai dari kencingnya) Rasulullah memanggil orang tersebut kemudian menasehatinya Sesungguhnya yang namanya masjid, tidak pantas untuk tempat kencing, tidak juga tempat kotoran. Hanya saja masjid itu sebagai tempat untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al-Qur‘an. Atau sebagaimana sabda Rasulullah. Kemudian Rasulullah memerintahkan seseorang untuk menyiram kencing orang arab kampung tersebut, maka ia membawa seember air kemudian menyiramkannya ke tempat kencing tersebut. HR. Muslim

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwasanya sahabat Abu Hurairah menceritakan,”(Suatu hari) kami shalat bersama Rasulullah. Kemudian di tengah-tengah shalat A‘rabi itu berdo‘a, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad. Dan jangan engkau rahmati siapapun selain kami berdua.” Setelah selesai salam, Rasulullah bersabda kepada A‘rabi tersebut, Sungguh, engkau telah mempersempit rahmat Allah yang luas.

Dalam riwayat Ahmad dari hadits Abu Hurairah diceritakan (A‘rabi yang pernah kencing di masjid itu) mengatakan –setelah dia berilmu–, “Rasulullah ketika itu (peristiwa kencing) menasehatiku. Beliau tidak mencelaku, memarahiku, tidak pula memukulku”.

3. Dalam sebuah kisah yang diceritakan oleh Abu Sufyan ketika beliau berdagang di negeri Syam, beliau dipanggil oleh Heraklius kaisar Romawi. Dan Heraklius mulai bertanya kepada Abu Sufyan ketika itu beliau masih kafir tentang sosok Rasulullah. Ia bertanya,”Apakah kalian pernah menuduhnya sebagai pendusta sebelum ia menyampaikan sesuatu (risalah Islam)?” Abu Sufyan menjawab,” Tidak pernah.” Ia bertanya lagi,”Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” Abu Sufyan menjawab,”Dia memerintahkan untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak boleh menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, memerintahkan untuk meninggalkan ucapan nenek moyang, memerintahkan untuk menegakkan shalat, zakat, berkata jujur, menjaga harga diri, menyambung tali persaudaraan. . .” HR. Al-Bukhari

Referensi:

“Ash Shahwah Al-Islamiyah, Dhawabith wa Taujihat”, Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.

Sumber : Buletin Al-Ilmu

Friday, 25 November 2011

Cinta Abadi Dalam Berumah Tangga

Cinta Abadi Dalam Berumah Tangga
Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.

Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya. Hal ini sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang kecintaan ini merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

{زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ}

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”
(QS Ali ‘Imran:14).

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya.

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ}

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…”
(QS At Taghaabun:14).

Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala[1].


Sewaktu menafsirkan ayat tersebut di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah telah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”[2].

Oleh karena itulah, seorang kepala keluarga yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم”

“Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya … Seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka“[3].

Cinta sejati yang abadi

Seorang kepala keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak diwujudkan dengan hanya mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.

Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[4].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[5].

Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiyallahu ‘anhuma masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”[6].

Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[7].

Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia? Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).

Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…“[8].

Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata, serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}

“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-Zukhruf:67).

Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya[9].

Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba –dengan izin Allah Ta’ala– akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,

{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}

“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).

Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala“[10].

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.

Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 25 Rabi’ul akhir 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).

[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).

[3] HSR al-Bukhari (no. 2278) dan Muslim (no. 1829).

[4] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).

[6] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).

[7] Fathul Baari (3/355).

[8] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab “ad-Da-u wad dawaa’” (hal. 68).

[9] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/170).

[10] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).

Sunday, 13 November 2011

Nasihat Luqman Al-Hakim

Nasihat Luqman Al-Hakim

Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ

“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.”
(Luqman: 18)

Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)

Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang pula:

وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِباَلَ طُوْلاً

“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.”
(Al-Isra`: 37)

Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)

Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.



‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أَمْثاَلَ الذَّرِّ فِيْ صُوْرَةِ الرِّجاَلِ، يَغْشاَهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكاَنٍ، يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسَ، تَغْلُوْهُمْ ناَرٌ مِنَ اْلأَنْياَرِ، وَيُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِيْنَةِ الْخَباَلِ

“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.1”
(HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)

Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian yang kita dapati dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah k dalam keadaan Allah murka terhadapnya.”
(HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)

Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merendahkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.” “Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

سَفَهُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.”
(HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)

Tak sedikit pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.”
(HR. Muslim no. 2865)

Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.”
(HR. Muslim no. 2588)

Tawadhu’ karena Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua makna ini benar. Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia.
(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)

Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.”
(HR. An-Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ اْلأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَى صِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُوْسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)

Ketawadhu’an Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau Shallamengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa melakukan hal itu.”
(HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)

Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan diikuti pula oleh para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.
(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)

Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid radhiyallahu ‘anhu menuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:

اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلٌ غَرِيْبٌ جَاءَ يَسْأَلُ عَنْ دِيْنِهِ لاَ يَدْرِي مَا دِيْنُهُ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَيَّ فَأُتِيَ بِكُرْسِيٍّ، فَقَعَدَ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ، ثُمَّ أَتَى خُطْبَتَهُ فَأَتَمَّ آخِرَهَا

“Aku pernah datang kepada Rasulullah n ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah n pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.”
(HR. Muslim no. 876)

Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya?

Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran


Catatan kaki:

1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.

Artikel : asysyariah.com

Tuesday, 8 November 2011

Keistimewaan Hari Arafah

Keistimewaan Hari Arafah

Ustadz Anas Burhanuddin, MA

Hari Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah setiap tahun merupakan salah satu hari yang paling utama sepanjang tahun. Bahkan dalam madzhab Syafi’i disebutkan bahwa jika ada orang yang mengatakan, ‘Isteri saya jatuh talak pada hari paling utama’, maka talak tersebut jatuh pada hari Arafah. Keistimewaan hari ini berdasarkan pada dalil umum dan khusus.

Dalil umum yaitu hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari-hari di mana amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allah Ta’ala daripada hari-hari yang sepuluh ini”. Para Sahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allah ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun.”
(HR. al-Bukhari no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh ini adalah lafazh riwayat at-Tirmidzi).

Maksudnya adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang merupakan rangkaian hari paling utama sepanjang tahun. Hadits ini menunjukkan disyariatkannya memperbanyak amal saleh di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan hari Arafah termasuk di dalamnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Siang hari pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dari malam sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama daripada malam sepuluh hari pertama Dzulhijjah.”


Adapun dalil khusus yang menunjukkan keistimewaan hari Arafah di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Di hari ini Allah Ta’ala paling banyak membebaskan manusia dari neraka. Ibunda kaum Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari di mana Allah Ta’ala membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata : Apa yang mereka inginkan?”
(HR. Muslim no. 1348).

Maksudnya, tidak ada yang mendorong mereka untuk meninggalkan negeri, keluarga dan kenikmatan mereka (untuk menunaikan ibadah haji-red) kecuali ketaatan kepada Allah Ta’ala dan pencarian ridhaNya.

2. Doa di hari Arafah adalah doa terbaik. Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarikalah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir.”
(HR. at-Tirmidzi no. 3585, dihukumi shahih oleh al-Albani rahimahullah).

3. Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling pokok. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh sekelompok orang dari Nejeb tentang haji, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Haji itu adalah Arafah.
(HR. at-Tirmidzi no. 889), an-Nisa’i no. 3016 dan Ibnu Majah no. 3015, dihukumi shahih oleh al-Albani rahimahullah).

Maksud hadits ini adalah bahwa wukuf di Arafah merupakan tiang haji dan rukunnya yang terpenting. Barang siapa meninggalkannya, maka hajinya batal, dan barangsiapa melakukannya, maka telah aman hajinya.

4. Puasa di hari Arafah memiliki keutamaan yang besar. Puasa sehari ini menghapuskan dosa dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Puasa hari Arafah aku harapkan dari Allah bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.
(HR. Muslim no. 1162).

Demikianlah, dalil-dalil ini cukup untuk menunjukkan keistimewaan dan keutamaan hari Arafah. Tidak hanya untuk para jamaah haji yang di hari itu memiliki agenda wukuf di Arafah. Kaum Muslimin yang lain juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendulang pahala dan ampunan dari Sang Maha Pengampun. Semoga Allah Ta’ala memberikan karunia-Nya kepada kita.

Sumber: Majalah As-Sunnah edisi: 06 / thn XV / Dzulqadah 1432H / Oktober 2011

Demikian tadi kawan artikel mengenai Keistimewaan Hari Arafah semoga artikel mengenai Keistimewaan Hari Arafah ini dapat bermanfaat kawan