Warung Bebas

Friday, 25 November 2011

Cinta Abadi Dalam Berumah Tangga

Cinta Abadi Dalam Berumah Tangga
Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.

Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya. Hal ini sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang kecintaan ini merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

{زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ}

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”
(QS Ali ‘Imran:14).

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya.

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ}

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…”
(QS At Taghaabun:14).

Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala[1].


Sewaktu menafsirkan ayat tersebut di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah telah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”[2].

Oleh karena itulah, seorang kepala keluarga yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم”

“Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya … Seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka“[3].

Cinta sejati yang abadi

Seorang kepala keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak diwujudkan dengan hanya mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.

Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[4].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[5].

Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiyallahu ‘anhuma masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”[6].

Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[7].

Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia? Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).

Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…“[8].

Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata, serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}

“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-Zukhruf:67).

Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya[9].

Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba –dengan izin Allah Ta’ala– akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,

{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}

“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).

Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala“[10].

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.

Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 25 Rabi’ul akhir 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).

[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).

[3] HSR al-Bukhari (no. 2278) dan Muslim (no. 1829).

[4] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).

[6] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).

[7] Fathul Baari (3/355).

[8] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab “ad-Da-u wad dawaa’” (hal. 68).

[9] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/170).

[10] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).

Sunday, 13 November 2011

Nasihat Luqman Al-Hakim

Nasihat Luqman Al-Hakim

Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ

“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.”
(Luqman: 18)

Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)

Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang pula:

وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِباَلَ طُوْلاً

“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.”
(Al-Isra`: 37)

Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)

Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.



‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أَمْثاَلَ الذَّرِّ فِيْ صُوْرَةِ الرِّجاَلِ، يَغْشاَهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكاَنٍ، يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسَ، تَغْلُوْهُمْ ناَرٌ مِنَ اْلأَنْياَرِ، وَيُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِيْنَةِ الْخَباَلِ

“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.1”
(HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)

Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian yang kita dapati dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah k dalam keadaan Allah murka terhadapnya.”
(HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)

Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merendahkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.” “Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

سَفَهُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.”
(HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)

Tak sedikit pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.”
(HR. Muslim no. 2865)

Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.”
(HR. Muslim no. 2588)

Tawadhu’ karena Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua makna ini benar. Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia.
(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)

Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.”
(HR. An-Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ اْلأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَى صِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُوْسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)

Ketawadhu’an Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau Shallamengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa melakukan hal itu.”
(HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)

Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan diikuti pula oleh para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.
(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)

Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid radhiyallahu ‘anhu menuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:

اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلٌ غَرِيْبٌ جَاءَ يَسْأَلُ عَنْ دِيْنِهِ لاَ يَدْرِي مَا دِيْنُهُ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَيَّ فَأُتِيَ بِكُرْسِيٍّ، فَقَعَدَ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ، ثُمَّ أَتَى خُطْبَتَهُ فَأَتَمَّ آخِرَهَا

“Aku pernah datang kepada Rasulullah n ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah n pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.”
(HR. Muslim no. 876)

Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya?

Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran


Catatan kaki:

1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.

Artikel : asysyariah.com

Tuesday, 8 November 2011

Keistimewaan Hari Arafah

Keistimewaan Hari Arafah

Ustadz Anas Burhanuddin, MA

Hari Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah setiap tahun merupakan salah satu hari yang paling utama sepanjang tahun. Bahkan dalam madzhab Syafi’i disebutkan bahwa jika ada orang yang mengatakan, ‘Isteri saya jatuh talak pada hari paling utama’, maka talak tersebut jatuh pada hari Arafah. Keistimewaan hari ini berdasarkan pada dalil umum dan khusus.

Dalil umum yaitu hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari-hari di mana amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allah Ta’ala daripada hari-hari yang sepuluh ini”. Para Sahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allah ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun.”
(HR. al-Bukhari no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh ini adalah lafazh riwayat at-Tirmidzi).

Maksudnya adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang merupakan rangkaian hari paling utama sepanjang tahun. Hadits ini menunjukkan disyariatkannya memperbanyak amal saleh di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan hari Arafah termasuk di dalamnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Siang hari pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dari malam sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama daripada malam sepuluh hari pertama Dzulhijjah.”


Adapun dalil khusus yang menunjukkan keistimewaan hari Arafah di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Di hari ini Allah Ta’ala paling banyak membebaskan manusia dari neraka. Ibunda kaum Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari di mana Allah Ta’ala membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata : Apa yang mereka inginkan?”
(HR. Muslim no. 1348).

Maksudnya, tidak ada yang mendorong mereka untuk meninggalkan negeri, keluarga dan kenikmatan mereka (untuk menunaikan ibadah haji-red) kecuali ketaatan kepada Allah Ta’ala dan pencarian ridhaNya.

2. Doa di hari Arafah adalah doa terbaik. Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarikalah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir.”
(HR. at-Tirmidzi no. 3585, dihukumi shahih oleh al-Albani rahimahullah).

3. Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling pokok. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh sekelompok orang dari Nejeb tentang haji, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Haji itu adalah Arafah.
(HR. at-Tirmidzi no. 889), an-Nisa’i no. 3016 dan Ibnu Majah no. 3015, dihukumi shahih oleh al-Albani rahimahullah).

Maksud hadits ini adalah bahwa wukuf di Arafah merupakan tiang haji dan rukunnya yang terpenting. Barang siapa meninggalkannya, maka hajinya batal, dan barangsiapa melakukannya, maka telah aman hajinya.

4. Puasa di hari Arafah memiliki keutamaan yang besar. Puasa sehari ini menghapuskan dosa dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Puasa hari Arafah aku harapkan dari Allah bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.
(HR. Muslim no. 1162).

Demikianlah, dalil-dalil ini cukup untuk menunjukkan keistimewaan dan keutamaan hari Arafah. Tidak hanya untuk para jamaah haji yang di hari itu memiliki agenda wukuf di Arafah. Kaum Muslimin yang lain juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendulang pahala dan ampunan dari Sang Maha Pengampun. Semoga Allah Ta’ala memberikan karunia-Nya kepada kita.

Sumber: Majalah As-Sunnah edisi: 06 / thn XV / Dzulqadah 1432H / Oktober 2011

Demikian tadi kawan artikel mengenai Keistimewaan Hari Arafah semoga artikel mengenai Keistimewaan Hari Arafah ini dapat bermanfaat kawan

Monday, 31 October 2011

Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak

Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak

Wahai saudaraku muslim! Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Artinya, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka{laki-laki}atas sebagian yang lain {wanita}dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa: 34)

Allah telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin bagi para wanita dan ini sesuai dengan fitrah dan naluri manusia, agar alam ini berjalan sesuai dengan hukum-hukum Allah Subhannahu wa Ta’ala .

Maka bagi laki-laki memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya dengan pendidikan yang baik dan benar yang akan menjamin kebahagian dunia dan akhirat. Dan pendidikan yang paling penting adalah mengajarkan mereka agama dan adab-adab Islam sebagai realisasi dalam meneladani Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan meniti kehidupan sesuai dengan ajarannya. Wahai para ayah ajarkan dan didiklah anak-anak kalian dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang sholih.

Ajarkan juga pokok-pokok keimanan yang telah diterangkan oleh Al-Qur‘an dan biasakanlah mereka untuk berpegang teguh dengan rukun-rukun Islam.

Ajarkan kepada istri dan anak-anak kalian untuk mencintai Allah, tancap-kan keimanan, kecintaan, penghormat-an, dan pengagungan terhadap Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam di dalam hati mereka. Mereka wajib untuk menaati apa yang diperin-tahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, membenarkan setiap berita yang beliau sampaikan dan menjauhi apa yang dilarangnya dan tidak beribadah kepada Allah, melain-kan sesuai dengan apa yang dia syariatkan. Barang siapa yang berpaling dari petunjuknya, maka dia termasuk ahlul bid’ah.

Ajarkan mereka untuk mencintai sahabat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang mulia sebagai imam yang telah mendapatkan petunjuk yang lurus. Terangkan kepada mereka bagaimana sahabat beribadah, berakhlak dengan akhlak yang mulia, berilmu yang luar biasa, bersungguh-sungguh dalam beragama. Dan terangkan juga tentang jihad dan perjuangan mereka di jalan Allah Subhannahu wa Ta’ala. Hingga akhirnya melalui mereka Allah membuka hati dan telinga umat manusia, membuka negara-negara dan kerajaan-kerajaan, dan menghukum orang orang kafir dan munafik dengan kehinaan.


Dan terangkan juga tentang sejarah hidup mereka yang luar biasa, bagai-mana kebenaran Iman mereka dan sempurnanya mereka di dalam mengikuti Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , dalam beribadah, berjihad dan menginfaqkan harta yang amat banyak dalam rangka untuk mencari ridha Allah Subhannahu wa Ta’ala .

Dan tanamkan kepada mereka bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang mau mengikuti Sahabat Rasullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan orang yang celaka adalah yang mencela, mendiskreditkan mereka serta menempuh jalan kehidu-pan selain jalan mereka.

Dan perintahkan kepada mereka untuk menunaikan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, perintahkan anak laki-laki supaya berjamaah di masjid bersama kaum muslimin, dan yang perempuan supaya berjamaah bersama ibu mereka di rumah.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman : Artinya, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepa-damu. Dan akibat(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.”
(Thaha: 132)

Dan juga pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dan perempuan ketika mereka berumur sepuluh tahun, jauhkan mereka dari kawan yang jelek. Tumbuhkanlah mereka dengan ahklaq ahlu iman, seperti berbakti kepada orang tua, silaturahim, bergaul dengan baik terhadap saudara seagama, senang bersedekah, berbuat yang ma‘ruf dan kebaikan, menghormati tetangga dan tamu, dan mencegah dari perbuatan jelek serta menyakiti sesama manusia.

Dan ajarkan juga tentang keimanan kepada qadla dan qadar, ajarkan agar selalu menghadapi takdir dengan menyerahkannya kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala sebagai Rabb yang mengatur seluruh alam. Karena sesungguhnya Allah yang memberi dan Allah yang memgambil, segala sesuatu datang dari sisi-Nya sesuai dengan waktu yang ditentukan-Nya. Orang yang berbahagia adalah orang yang beriman kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya serta berusaha keras mencari jalan-jalan (wasilah) yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.

Orang yang celaka adalah orang yang menuyelisihi-Nya, bermaksiat terhadap perintah-Nya, menentang-Nya, kufur terhadap-Nya, benci terha-dap ketentuan-Nya dan berpaling dari takdir-Nya.

Jauhilah perkara-perkara yang mengantarkan kepada kemurkaan Allah Subhannahu wa Ta’ala yang mengakibatkan dimasuk-kan ke dalam api neraka bersama orang-orang kafir Allah Ta‘ala berfirman,

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu menger-jakan apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6)

Jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka, dengan membuka pintu-pintu kebaikan kepada anak dan istri kalian dan selalu mengarahkan mereka kepada kebaikan-kebaikan tersebut, selalu memberi dorongan kepada mereka untuk melaksanakannya, dan hendaknya kalian menjadi teladan bagi seluruh anggota keluarga.

Jangan sekali-kali meremehkan pendidikan terhadap keluarga kalian, dan jangan menganggap ringan dalam mengarahkan dan menunjuki mereka didalam kebaikan, karena kalian bertanggung jawab atas mereka.

Bersabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam ,“Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin amanah yang diembankan kepadanya; apakah dia menjaganya atau menyia-nyiakannya, sampai seseorang ditanyai tentang keluarganya”
(HR. An-Nasai)

Dan bersemangatlah dalam mendidik mereka di dalam kebaikan dunia dan akhirat. Semoga Allah menjadikan kita seperti orang-orang yang Allah firmankan,

Artinya, “Yaitu surga ‘Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan) “Salamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesuda-han itu.”
(Ar-Ra’d : 23-24)

Dan bersungguh-sungguhlah dalam mengajarkan mereka tentang Kitabullah dan as-Sunnah serta atsar-atsar (perikehidupan) salafusholih, maka Allah akan memberikan kemuliaan kepada kalian lebih dari yang kalian harapkan, dan akan mengamankan kalian dari mara bahaya apa pun, akhirnya Allah akan mengumpulkan kalian bersama anak dan istri kalian disurga-surga dan akan duduk ditempat orang-orang yang terhormat.

Allah berfirman : Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
(At-Thur : 21)

Sesungguhnya seorang ayah apabila memberikan perhatian serius di dalam mendidik anak dan istrinya serta orang-orang yang menjadi tanggung jawab-nya, maka ia ibarat seseorang yang menebarkan di atas bumi yang subur benih-benih yang paling bermanfaat dan paling baik, yang kelak dengannya akan mendatangkan buah yang melim-pah dan hasil (panen) yang baik.

Tetapi apabila meremehkan pendidikan keluarga dan merasa cukup dengan sekedar memberikan makan, minum, pakaian dan lainnya, kemudian ia tinggalkan begitu saja seperti bina-tang ternak, tidak mengetahui yang halal dan yang haram, dan tidak menunaikan kewajiban dan tanggung jawab, dan tidak ada rasa penghormatan kepada yang tua dan tidak ada belas kasihan terhadap yang muda, maka yang seperti itu justru akan menjadi azab bagi diri mereka, keluarga dan masyarakat seluruhnya.

Padahal setiap muslim akan ditanya di hadapan Allah Subhannahu wa Ta’ala tentang beban tanggung jawab yang dipikulnya. Apakah ia tunaikan dan pelihara atau malah justru melalaikan dan menyia-nyiakannya.

Sesungguhnya anak-anak kita, belahan hati kita adalah pemuda-pemuda di hari ini dan merupakan generasi penerus untuk masa depan, jangan kalian melupakan doa untuk mereka, supaya mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah Subhannahu wa Ta’ala agar menempuh jalan yang dicintai Allah dan diridhai-Nya.

Artinya, “Ya Rabb kami, anugerah-kanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Sumber : Buletin, “al-Washiah bil Ahl wal Aulad.” (Azhar Khalid Saif, Lc.)

Demikian tadi kawan artikel mengenai Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak dan semoga artikel mengenai Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak ini dapat bermanfaat kawan.

Friday, 21 October 2011

Hawa Nafsu Dalam Agama

Hawa Nafsu Dalam Agama

Seorang muslim hendaknya merenungkan mengenai diri dan hawa nafsunya.
Andaikan sampai berita kepada Anda bahwa seseorang telah mencaci maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian orang lain mencaci maki Nabi Daud ‘alaihissalam. Sedangkan orang yang ketiga mencaci maki Umar atau Ali radhiyallahu ‘anhuma. Dan yang keempat mencaci maki syaikh Anda. Sementara orang yang kelima, mencaci maki syaikh orang lain.

Apakah amarah dan usaha Anda untuk memberikan hukuman dan pelajaran kepada mereka telah sesuai dengan ketentuan syari’at? Yakni apakah kemarahan Anda kepada orang pertama dan kedua hampir sama kadarnya, namun lebih dahsyat jika dibandingkan kepada yang lainnya?

Apakah kemarahan Anda kepada orang yang ketiga lebih ringan kadarnya dibandingkan dua orang yang pertama namun lebih keras dibandingan dua sisanya? Apakah kemarahan Anda kepada orang yang keempat dan kelima hampir sama kadarnya, namun jauh lebih lunak dibandingkan dengan yang sebelumnya?

Misalkan pula Anda membaca sebuah ayat, kemudian nampak bagi Anda bahwa ayat tersebut sesuai dengan pendapat imam anda. Kemudian anda mendapati ayat lain dan nampak oleh anda dari ayat tersebut bahwa ia menyalahi ucapan yang lain dari imam anda tersebut.

Apakah penilaian anda mengenai keduanya sama? Yaitu anda tidak akan peduli untuk mencari kejelasan dari dua ayat tersebut dengan mengkajinya secara seksama agar menjadi jelas benar atau tidaknya atas pemahaman anda tadi dengan cara membaca sepintas.

Misalkan pula anda mendapatkan dua hadits yang tidak anda ketahu shahih atau dho’ifnya. Salah satunya sesuai dengan pendapat imam anda sedangkan yang satunya lagi menyalahinya. Apakah pandangan anda terhadap dua hadits tersebut sama tanpa anda peduli (untuk mengetahui secara ilmiyyah) apakah kedua hadits tersebut shahih atau dho’if?

Misalkan pula anda memperhatikan suatu masalah yang imam anda mempunyai suatu pendapat tentangnya, dan (ulama) lain menyalahi pendapat tersebut.

Apakah hawa nafsu anda yang lebih berperana. dalam melakukan tarjih salah satu dari dua pendapat tadi? Ataukah anda menelitinya supaya anda dapat mengetahui mana yang rajih dari keduanya dan anda dapat menjelaskan kerajihannya tersebut.


Misalkan pula ada seseorang yang anda cintai dan yang lain anda benci. Keduanya berselisih dalam suatu masalah. Kemudian anda dimintai pendapat tentang perselisihan tersebut. Padahal (anda tidak mengetahui duduk persoalannnya sehingga) anda tidak mungkin dapat menghukuminya. Ketika anda meneliti permasalahan tersebut, apakah hawa nafsu anda yang berperan sehingga lebih memihak orang yang anda cintai?

Misalkan pula ada tiga fatwa dari ulama dalam permasalahan yang berbeda.
Satu dari anda sendiri, yang kedua dari orang yang engkau cintai, dan fatwa ketiga dari orang yang tidak engkau sukai. Dan setelah engkau teliti fatwa kedua teman anda tersebut, maka anda nilai keduanya benar pula. Kemudian sampai berita kepada anda bahwa ada seorang alim yang mengeritik salah satu dari ketiga fatwa tersebut dan mengingkarinya dengan sangat keras. Apakah anda mempunyai sikap yang sama apabila fatwa yang dikritik itu adalah fatwa anda atau fatwa sahabat anda atau fatwa orang yang tidak anda sukai?

Misalkan pula anda mengetahui seseorang berbuat kemunkaran dan anda berhalangan untuk mencegahnya. Kemudian sampai kepada anda bahwa ada seorang ahli ilmu yang mengingkari orang tersebut dengan sangat kerasnya.
Maka apakah anggapan baik anda akan sama apabila yang mengingkari itu teman anda atau musuh anda, begitu pula apabila orang yang diingkarinya itu teman anda atau musuh anda?

Periksalah diri anda! Anda akan dapatkan diri anda sendiri ditimpa musibah dengan perbuatan maksiat atau kekurangan dalam hal Dien. Juga engkau dapati orang yang anda benci ditimpa mushibah dengan melakukan kemaksiatan pula dan kekuranga lainnya dalam syari’at yang tidak lebih berat dari maksiat yang menimpamu.

Maka apakah engkau dapati kebenciannmu kepada oarang tersebut (disebabkan maksiat atau kekuarangan dalam syari’at) sama dengan kebencanmu kepada dirimu sendiri? Dan apakah engkau dapati kemarahannmu kepada dirimu sendiri sama dengan kemarahanmu kepadanya?

Pintu-pintu hawa nafsu tidak tehitung banyaknya. Saya mempunyai pengalaman pribadi ketika saya memperhatikan suatu permasalahan yang saya anggap bahwa hawa nafsu tidak ikut tercampur dalam masalah tersebut. Saya mendapatkan satu pengertian dalam masalah tersebut, maka saya menetapkannya dengan satu ketetapan yang saya anggap baik.

Kemudian setelah itu saya melihat sesuatu yang membuat cacat ketepan tadi. Lalu saya gigih mempertahankan kesalahan tadi dan jiwaku menyuruhku untuk memberikan pembelaan dan menutup mata, serta menolak untuk mengadakan penelitian lebih lanjut secara mendalam. Hal ini dikarenakan ketika saya menetapkan pengertian pertama yang saya kagumi itu, hawa nafsu saya condong untuk membenarkannya. Padahal belum ada satu orangpun yang mengetahui hal ini.

Maka bagaimana seandainya hal tersebut sudah saya sebar luaskan kepada khalayak ramai, kemudian setelah itu tampak bagiku bahwa pengertian tersebut salah? Maka bagaimana pula apabila kesalahan tersebut bukan saya sendiri yang mengetahuinya melainkan orang lain yang mengkritikku? Maka bagaimana pula jika orang yang mengkritikku adalah orang yang aku benci?

Hal ini bukan berarti bahwa seorang alim dituntut untuk tidak mempunyai hawa nafsu karena hal ini diluar kemampuannya. Tapi kewajiban seorang alim adalah mengoreksi diri dan hawa nafsunya supaya dia mengetahui kemudian mengekangnya dan memperhatikan dengan seksama dalam hal kebanaran sebagai suatu kebenaran. Apabila jelas baginya bahwa kebenaran tersebut menyelisihi hawa nafsunya, maka dia harus mengutamakan kebenaran daripada mengikuti hawa nafsunya.

Seorang alim terkadang lalai dalam mengawasi hawa nafsunya. Ia bersikap toleran sehingga dirinya condong kepada kebatilan dan membela kebatilan tersebut. Dia menyangka bahwa dirinya belum menyimpang dari kebenaran. Dia menyangka pula bahwa dirinya tidak sedang memusuhi kebenaran. Tidak ada orang yang selamat dari perbuatan ini kecuali orang yang ma’shum Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.

Hanya saja para ulama bertingkat-tingkat dalam sikapnya terhadap hawa nafsu. Diantara mereka ada yang sering terbawa arus hawa nafsunya sampai melampaui batas sehingga orang yang tidak mengetahui tabiat manusia dan pengaruh hawa nafsu yang demikian besar menyangka bahwa si alim tadi melakukan kesalahan yang fatal dengan sengaja. Diantara ulama juga ada orang yang dapat mengekang hawa nafsunya sehingga jarang sekali mengikuti hawa nafsunya.

Oleh sebab itu barangsiapa sering membaca buku-buku dari penulis yang sama sekali tidak menyandarkan ijthad mereka kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka dia akan banyak mendapatkan keanehan. Hal ini tidak mudah diketahui kecuali oleh orang-orang yang hawa nafsunya tidak condong kepada buku-buku tersebut, yaitu orang yang condong kepada kebenaran yang bertentangan dengan buku-buku tersebut.

Kalau hawa nafsunya cenderung kepada buku-buku tersebut dan sudah dikuasai hawa nafsunya, maka dia menyangka bahwa orang-orang yang sependapat dengannya itu terbebas dari mengikuti hawa nafsu, sedangkan orang-orang yang bertentangan dengannya adalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.

Orang salaf dahulu ada yang berlebihan dalam mengekang hawa nafsunya sampai ia terjerumus ke dalam kesalahan pada sisi yang lain. Seperti seorang hakim yang mengadili dua orang yang berselisih. Orang pertama adalah saudara kandungnya sedangkan yang kedua adalah musuhnya.

Ia berlebihan dalam mengekang hawa nafsunya sampai ia menzholimi saudara kandungnya sendiri. Ia seperti orang yang berjalan di tepi jurang yang curam di kanan kirinya, berusaha menghindari jurang yang disebelah kanan namun berlebihan sehingga ia terjatuh ke dalam jurang yang di sebelah kirinya.

(Diterjemahkan dari buku At-Tankil bi Maa fi Ta’nibil Kautsari minal Abathil, karya Syaikh Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani bagian keempat: Al-Qaid ila Tashih Al-Aqaid hal.196-198 )
Artikel : fariqgasimanuz.wordpress.com

Demikian tadi kawan artikel mengenai Hawa Nafsu Dalam Agama dan semoga artikel mengenai Hawa Nafsu Dalam Agama bermanfaat kawan.

Monday, 17 October 2011

Jangan Berduka Dan Bersedih

Jangan Berduka Dan Bersedih

Hati tenang, bahagia, dan hilangnya kegundahan adalah dambaan setiap insan.

Insan yang berakal menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah dalam bukunya, al-Wasaailu al-Mufaidah lil Hayatatis Sa’idah mengetahui bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan yang ia jalani dengan bahagia dan tenang. Kehidupan ini pendek sekali, lanjut Syaikh As-Sa’di, maka tak sepantasnya memperpendek dengan kesedihan dan larut dalam kesusahan.

Jika seorang hamba ditimpa musibah atau takut akan sebuah musibah hendaklah membandingkan antara nikmat-nikmat yang ia dapatkan, baik dalam urusan agama atau dunia dengan musibah yang menimpanya. Dengan membandingkan akan jelas baginya betapa banyak nikmat yang dia dapatkan dan tertutupilah musibah yang menimpanya.

Selanjutnya Syaikh as-Sa’di menyarankan, hendakhnya juga membandingkan antara kemungkinan bahaya yang akan menimpanya dengan banyaknya kemungkinan akan dapat selamat darinya. Jangan sampai kemungkinan yang lemah dapat mengalahkan kemungkinan-kemungkinan kuat dan banyak. Dengan demikian, akan hilanglah kesedihan dan perasaan takutnya.

Juga memperkirakan hal paling besar yang dapat menimpanya, kemudian menyiapkan mental untuk menghadapi bila memang terjadi, berusaha mencegah apa-apa yang masih belum terjadi dan menghilangkan atau paling tidak meminimalisir musibah yang sudah terjadi.


Bila Tak Kesampaian

Bila seseorang dihadapkan dengan ketakutan , sakit, kekurangan atau tidak tercapai keinginannya, hendaklah dihadapi dengan tenang dan kesiapan mental, bahkan dia harus siap menghadapi keadaan yang lebih berat sekalipun, sebab, kesiapan mental dalam menghadapi musibah akan mengecilkan musibah tersebut dan menghilangkan bobotnya.


Terutama bila dia berusaha melawan sesuai kemampuan, sehingga dapat memadukan antara kesiapan mental dan usaha maksimal yang dapat mengalihkan perhatian dari musibah yang akan dating. Dan yang lebih penting lagi adalah selalu memperbarui kekuatan menghadapi musibah disertai dengan tawakkal dan yakin kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala.

Jika hati bersandar kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala, bertawakal kepada-Nya, tidak menyerahkan pada prasangka-prasangka buruk juga tidak dikuasai khayalan-khayalan negative, yakin serta sungguh-sungguh berharap atas karunia Allah Subhaanahu wa Ta’Ala, maka akan terusirlah perasaan sedih dan hilanglah berbagai macam penyakit fisik dan jiwa.


Akan dicukupkan

Hati bisa mendapatkan kekuatan, kelapangan dan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan. Banyak rumah sakit yang penuh dengan pasien yag sakit karena prasangka-prasangka buruk dan khayalan-khayalan menyesatkan. Banyak orang yang kuat hatinya tapi masih terpengaruh dengan hal tersebut, apalagi orang yang memang lemah hatinya.

Dan betapa sering hal tersebut menyebabkan kedunguan dan kegilaan, kata Syaikh as-Sa’di. Orang yang sehat dan selamat adalah yang diselamatkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’Ala dan diberi-Nya taufik untuk berusaha mendapatkan faktor-faktor yang bias menguatkan hatinya dan mengusik kegelisahannya.

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya”. (Ath-Thalaq: 3).

Artinya Allah Subhaanahu wa Ta’Ala akan mencukupkan untuknya semua apa yang dia butuhkan dari urusan agama dan dunianya.

Maka orang yang bertawakal kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala, hatinya kuat. Tidak dapat dipengaruhi prasangka-prasangka buruk, tidak dapat digoncang oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi, sebab dia tahu hal itu termasuk indikasi lemahnya jiwa dan perasaan takut yang tidak beralasan.

Dia tahu, Allah Subhaanahu wa Ta’Ala akan menjamin sepenuhnya orang yang bertawakal kepada-Nya, dia yakin kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala dan tenang karena percaya akan janji-Nya. Dengan demikian, hilanglah duka dan gelisah. Kesulitan berubah menjadi kemudahan, kesedihan menjadi kegembiraan dan perasaan takut menjadi keimanan.

Abu Abdil Ghany (Majalah Nabila)
Diketik ulang oleh : Ummu ‘Umar dari Majalah Nabila (2004)

Artikel Dari : jilbab.or.id

Demikian tadi kawan artikel mengenai Jangan Berduka Dan Bersedih dan semoga artikel mengenai Jangan Berduka Dan Bersedih bermanfaat kawan.

Thursday, 13 October 2011

Kamar Untuk Orang Tua

Kamar Untuk Orang Tua
Berikut ini adalah kisah tentang sebuah kamar yang disiapkan oleh anaknya nanti bila telah mempunyai rumah.Dimana sang anak akan meletakkan kamar untuk orang tua
nya sendiri.Semoga kita bisa mengambil pelajaran, hikmah dan ibrah dari kisah berikut ini.

Ibu itu duduk di suatu sore membantu anak-anaknya mengulangi pelajaran mereka…Ia memberikan sebuah buku gambar kepada anaknya yang berusia 4 tahun agar tidak mengganggunya memberikan penjelasan kepada kakak-kakaknya yang lain.

Tiba-tiba saja ia teringat bahwa ia belum menyiapkan makan malam untuk ayah suaminya yang telah lanjut usia yang kebetulan tinggal bersama mereka di rumah itu, namun kamarnya terpisah dari bangunan utama rumah itu. Ia memang selalu berusaha berkhidmat kepada ayah mertuanya itu sedapat mungkin, dan suaminya ridha dengan apa yang ia lakukan kepada sang ayah yang tidak lagi mampu meninggalkan kamarnya karena kesehatannya yang lemah.

Ia segera membawa makanan untuknya dan menanyakannya jika ia membutuhkan bantuan yang lain. Setelah itu, wanita itupun pergi dan kembali berkumpul bersama dengan anak-anaknya…


Ia memperhatikan si bungsu asyik menggambar lingkaran dan persegi empat dengan memberinya kode…Ia pun bertanya kepadanya:

“Apa yang sedang engkau gambar ini, Sayang?”

Dengan polos, si bungsu itu menjawab:

“Aku sedang menggambar rumah yang nanti akan aku tinggali ketika aku dewasa dan menikah.”

Betapa bahagianya ibu muda itu mendengar jawaban si bungsu.

“Di mana engkau akan tidur nantinya?”

Si bungsu itupun mulai menjelaskan setiap kotak yang digambarnya. Ini kamar tidur. Ini adalah dapur dan ini adalah ruang untuk para tamu. Tinggallah sebuah kotak yang tersendiri di luar lingkaran yang dibuatnya. Kotak itu terpisah dari semua kotak yang digambarnya.

Sang ibu muda itu benar-benar heran. Maka ia bertanya padanya:

“Mengapa kamar ini berada di luar rumah sendirian, terpisah dari kamar-kamar lainnya?”

“Kamar itu untuk ibu…Aku akan menempatkan ibu di sana seperti sekarang kakekku hidup,” jawab si bungsu.

Bagai petir hebat menyambarnya, ibu muda itu benar-benar terkejut dengan apa yang diucapkan oleh putra bungsunya.

Ia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri: apakah aku akan tinggal sendiri di kamar luar rumah itu tanpa bisa menikmati obrolan bersama anakku dan cucu-cucuku ketika aku sudah tidak mampu lagi bergerak? Siapa yang akan kuajak berbicara ketika itu? Apakah aku akan menghabiskan umurku dalam kesendirian di antara 4 tembok tanpa dapat mendengarkan suara anggota keluargaku yang lain?

Ia segera memanggil pembantunya…dan dengan cepat ia segera memindahkan semua perabotan yang ada di kamar untuk menerima tamu-kamar yang biasanya paling indah-ke kamar mertuanya di halaman dan mengganti isinya dengan semua perabotan yang ada di kamar mertuanya. Dan ketika suaminya kembali, ia benar-benar terkejut dengan surprise itu.

“Mengapa tiba-tiba terjadi perubahan seperti ini?” tanyanya.

Ia menjawab dengan air mata yang terus menerus mengalir di matanya:

“Aku memilih kamar terindah untuk kelak kita, aku dan engkau, tinggali jika Allah memberikan umur panjang kepada kita dan kita tidak lagi mampu bergerak…Biarlah para tamu saja yang tidur di kamar pekarangan rumah itu…”

Suaminya pun memahami apa yang ia maksudkan. Ia memujinya atas semua yang dilakukannya untuk ayahnya yang terus memandang mereka sembari tersenyum penuh keridhaan.

Sedang si bungsu kemudian adalah…menghapus gambarnya dan tersenyum.

Sumber : “Chicken Shoup For Muslim, Penerbit Sukses Publishing Hal. 20-23 via

Demikian tadi kawan artikel mengenai Kamar Untuk Orang Tua