Warung Bebas

Friday 24 December 2010

Aku di Perlakukan Seperti Budak

Seorang istri menulis surat, dia berkata, “Sebenarnya aku tidak tahu dari mana memulai? Dan bagaimana memulai? Hatiku telah hancur dengan kesedihan. Tubuhku terasa lemas dengan kepedihan. Eksistensiku tergoncang , karena setiap kata yang kutulis menunjukkan kesengsaraan yang kuderita.
Kesengsaraan macam apa?! Biarkanlah aku katakan sebagai intimidasi, atau menurut pemahaman yang populer adalah “teror”.

Bukankah menimbulkan rasa takut pada orang yang dalam keadaan aman adalah teror?! Bukankah kedzaliman adalah teror juga?! Ya, aku alami keadaan seperti ini bersama orang yang seharusnya menjadi manusia yang paling dekat denganku. Bukankah seorang istri merupakan tempat yang damai bagi seorang suami dan suami adalah merupakan tempat yang damai bagi istri, sebagaimana hal itu keyakinan kita?

Tuan kesengsaraanku bersama suamiku bermula sejak awal, semenjak malam pengantin. Dia tanamkan pada diriku benih rasa sakit dan ketakutan. Aku ingin memupuskan semua itu dengan rasa cinta dan berusaha untuk saling memahami. Tetapi wajah bengis yang tidak pernah pudar, perlakuan kasar yang menguatkan atas sikap yang merendahkan martabat dan menghina merupakan makananku tiap hari.

Usiaku belumlah tua. Usiaku baru 22 tahun. Sedangkan dia 30 tahun. Aku kira kematangan berfikir dan kedewasaan akal akan mempengaruhi tindakan-tindakannya… tetapi!!!

Aku diperlakukan seperti pembantu atau budak. Aku harus melaksanakan semua kewajiban-kewajibanku, mulai memakaikan baju dan sepatu padanya. Tidak berakhir dengan menghidangkan makanan yang ia santap sendirian. Kejantanan dan keperkasaannya menahan dirinya untuk makan bersamaku di atas satu meja makan. Sebelum hingga sesudah punya anak. Aku maupun anak-anakku tidak ada yang berani makan sebelumnya.

Ini satu sisi. Adapun sis-sisi lainnya, maka banyak sekali…

Sering sekali dia pulang kepadaku pada larut malam. Aku tidak berani bertanya tentang tempat di mana dia begadang, dan bersama siapa? Juga tentang bau yang menunjukkan bahwa itu adalah bau yang tidak baik dari minuman yang tidak baik?!

Kewajibanku hanyalah melepas sepatu dan bajunya, meletakkan makanan dan berdiri di sampingnya hingga selesai.

Aku harus bangun lebih awal untuk membangunkannya. Dan dia pun bangun setelah bertengkar dan mencelaku, bahkan terkadang –Maha Suci Engkau ya Allah- dia meludahi wajahku.

Tuan aku tidaklah berlebihan!! Ketidakmampuanku untuk berbicara keras dan perasaan takutlah yang menghalangiku untuk banyak bicara.

Aku –walillahi al hamdu- adalah perempuan yang punya penampilan menarik, bersih dan berkedudukan. Namun dia tidak mau menahan diri untuk mencelaku dengan kata-kata yang melukai. Ketika aku berusah untuk membalas atau meminta untuk menceraikanku, tidak aku dapati kecuali tamparan dan tendangan. Yang dijadikan sebagai pembenaran dari perlakuannya adalah kejantanan dan keperkasaan, bukan pergaulan dan perlakuan yang baik.

Bayangkan dia belum pernah dan tidak pernah bercengkrama dengan anak-anaknya. Mereka adalah tiga anak perempuan yang cantik-cantik. Bahkan terkadang dia mencibirku karena mereka dengan mengatakan, “Mereka tidak sebanding dengan kuku satu anak laki-laki.”

Anak-anak selalu hancur perasaanya dan bersedih, walaupun aku selalu berusaha mendekap dan menghibur mereka.

Percayalah aku dan anak-anaku hidup dalam ketakutan. Seluruh tingkahnya di rumah tidak pernah nampak tenang, bahkan kasar. Jika menghendaki sesuatu, tidak memanggilku, tetapi dengan melempariku dengan sesuatu yang ada didekatnya hingga aku bangkit. Atau menutup pintu dengan kasar. Atau memanggilku dengan tepukan tangan, seakan-akan aku ini adalah seorang pembantu. Jika teman-temannya datang ke rumah, aku harus berdiri dekat pintu untuk memenuhi permintaan-permintaanya.

Adapun hak-hakku sebagai istri, maka aku tidak berhak untuk mendapatkannya. Bahkan dia mengambil haknya lalu pergi dengan membenturkanku ke tembok. Belum pernah terjadi dalam satu hari pun wajah dan tubuhku bersih dari memar bekas pukulan , dan luka atau lainnya.

Anak-anak terkadang menjerit, tetapi dia tidak punya perhatian dan perasaan. Aku berusaha untuk merahasiakan (semua kejadian itu) pada diriku dan menahan diri, barangkali dia akan reda dan tenang… tetapi tidak bermanfaat.

Oh iya aku lupa menceritakan bahwa aku adalah keluaran perguruan tinggi dan berpendidikan. Jika yang dimaksud dengan berpendidikan adalah tanggap dengan apa yang ada di sekitarku dan tahu tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap keluargaku; mulai dari suami yang merupakan sumber dari permasalahanku.

Mungkin Anda bertanya, “Kenapa Anda tidak meminta bantuan kepada keluarga Anda atau meminta cerai?”

Aku jawab, “Hal itu sering terjadi, dan keluargaku selalu memaksaku untuk kembali kepadanya. Atau setelah beberapa saat dia datang untuk mengajak bicara kepada keluargaku bukan kepadaku. Lalu ayah menyuruhku untuk pergi bersamanya. Aku tidak mampu berucap sepatah kata pun, karena menghormatinya.

Kesimpulannya, wahai tuanku, aku hidup dalam keadaan yang penuh teror dan ketakutan di rumahku yang seharusnya aku merasa aman di dalamnya. Atau bersama suamiku yang seharusnya dia bisa mewujudkan cita-cita dan keamanan untukku pribadi dan anak-anakku. Aku hidup dalam penjara yang tidak kuasa untuk keluar darinya…

Kesedihan dan hal-hal yang tidak bisa kuceritakan banyak sekali dan sangat getir. Jika dirinci mungkin akan meghabiskan berlembar-lembar halaman. Tidak ada yang tersisa selain pertanyaan usang yang barangkali jawabannya tidak menyegerakan atau mengakhiri dari kesedihanku yang terwujud pada suami ini. Tetapi karena harapan dan usaha untuk bisa mengungkap isi hatilah yang mendorongku untuk menulis. Barangkali dia membacanya. Atau dibaca para istri yang mengalami seperti apa yang aku ceritakan, sehingga mereka tahu kesengsaraan yang aku alami.

Apakah aku bisa mendapatkan jawaban pada diri Anda? Barangkali kalimat-kalimat Anda akan meringankan kesengsaraan yang kualami.”

Sumber: dikutip dari buku “HARMONIS Idaman Setiap Keluarga & Tips Meredam Perselisihan”, Penulis Asy-Syaikh Salim Al-’Ajmi, DR. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Penerjemah Abu Nizar Arif Mufid. MF., Abu Muqbil Akhmad Yuswaji, Penerjemah: Pustaka Salafiyah [judul asli : Rumah Tangga di Tengah Hempasan Badai]

0 comments em “Aku di Perlakukan Seperti Budak”

Post a Comment